REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) mensurvei Standar Operasional Prosedur (SOP) gempa dan tsunami di lapangan tidak berjalan dengan maksimal. Hal tersebut dibenarkan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatra Barat, Ade Edward.
"Ya, setuju tak maksimal," kata Ade kepada Republika, Jumat (4/3).
Kekacauan di Padang pascagempa Samudra Hindia, ujarnya, bisa menjadi ukuran, sistem peringatan dini atau early warning belum berjalan optimal.
"Makanya di Padang sempat kacau, peranatau-perantau Minang seluruh dunia juga sempat dibikin panik," lanjutnya.
Selain itu, ia melanjutkan, banyak peralatan pemantau parameter tsunami juga tidak berfungsi, tidak terintegrasi, tidak realtime. Sehingga, pengambilan keputusan peringatan dini kurang didukung data yang memadai.
"Pangkal soalnya di sistem peringatan dini yang kurang akurat, tidak terjanin kecepatannya, SOP kurang sinkron serta kualitas SDM (sumber daya manusia)," tuturnya.
Ade menjelaskan, sistem peringatan dini tsunami ibarat sebuah rantai yang disusun oleh mata rantai yang saling tersambung. Jika putus, ia berujar, maka rantai menjadi tak berfungsi. Menurutnya, kekacauan yang terjadi di Padang, membuktikan ada rantai yang putus sehingga tidak sinkron.
"Ini yang menyebabkan kekacauan. Sistim peringatan dini akhirnya gagal menjadi pengendali dalam situasi krisis," kata Ade menambahkan.