Selasa 01 Mar 2016 14:39 WIB

Sanksi Partai Diusulkan Masuk Revisi UU Pilkada

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Esthi Maharani
Pilkada (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Pilkada (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institut Otonomi Daerah mengusulkan agar pemerintah mengatasi maraknya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Presiden Institut Otonomi Daerah, Djohermansyah Herman mengusulkan adanya sanksi yang diberikan terhadap partai politik yang tak mengajukan calonnya.

Sanksi ini, kata dia, dapat dimasukkan dalam draft revisi undang-undang pilkada. "Kalau partai politik tidak mengajukan calonnya maka kita usulkan pada pak Wapres dalam revisi UU Pilkada ke depan agar partai itu dipenalti, diberi hukuman," jelas Djohermansyah di kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (1/3).

Selain itu, ia juga mengusulkan agar pelaku politik uang serta penerimanya juga diberikan sanksi pidana. Calon kepala daerahnya pun, tambah dia, dapat didiskualifikasi dalam putaran pemilihan kepala daerah.

"Pemberi mahar, dan penerima mahar dalam pemilu diberi sanksi pidana. Wani piro? (berani berapa?) Itu kena. Kalau ada calon kandidat kita minta dia didiskualifikasi," jelas dia.

Lebih lanjut, Djohermansyah juga menyarankan agar penyelenggaraan pilkada serentak dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mengingat saat penyelenggaraan pilkada serentak tahun lalu sempat terkendala oleh pembiayaan.

"Kita juga sarankan agar dikendorkan sedikit ketentuan bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil), TNI dan anggota dewan yang ingin maju. Mereka mundurnya tidak usah waktu pencalonan tetapi pada waktu telah ditetapkan sebagai calon," tambah dia.

Sementara itu, Kristiadi dari Institut Otonomi Daerah, menambahkan sanksi bagi calon kepala daerah maupun partai politik diberikan agar partai dapat mendidik kadernya untuk memiliki etika yang baik dan benar. Sedangkan, Siti Zuhro anggota lainnya dari Institut Otonomi Daerah, mengatakan sanksi pinalti yang dijatuhkan kepada partai politik juga harus diikuti dengan penurunan ambang batas, dari sebesar 22-25 persen menjadi 10-15 persen. Hal ini dimaksudkan agar tercipta keadilan dalam pilkada.

"Harus ada penalti dan fairness dengan mengurangi ambang batas, selain itu kita harapkan dengan pilkada serentak ada pemilu berkualitas, terutama tidak ada barter politik, money politik itu, karena jika itu terus dilakukan ujung-ujungnya tidak hanya KKN tapi juga penjara, mahar politik tidak perlu diperpanjang di 2017, food buying dikurangi," jelas dia.

Tak hanya itu, Siti juga meminta agar para calon kepala daerah yang juga merupakan mantan narapidana dilarang mengikuti pemilu lantaran masalah etika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement