REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono menilai proses melawan radikalisasi atau kontra-radikalisasi sulit dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah keengganan pemerintah terlibat dalam isu terorisme yang dianggap sensitif.
"Sejauh ini sumbernya kebimbangan, enggan masuk terlalu jauh (ke dalam masalah terorisme, red), pembesar masih takut," ujar Sarlito dalam diskusi terbatas mengenai kajian penyusunan buku 'Fikih Tentang Terorisme,' di Jakarta, Kamis (25/2).
Ia menambahkan, beratnya mengupayakan masalah fanatisme menyimpang juga karena kurangnya kontrol terhadap ajaran agama yang disebarkan. Hal itu makin kompleks, karena di lembaga akademik dan masjid pun radikalisasi telah masuk.
Sarlito menilai ada organisasi kemahasiswaan dan khotib masjid yang berpemikiran radikal tanpa diketahui pengurus setempat. Padahal, hal tersebut sangat berbahaya.
"Di SMA guru agama tidak ada yang mengontrol apa yang diajarkan. Ada radikalis yang berkumpul di organisasi kemahasiswaan dan rektor diam saja. Itu yang membuat deradikalisasi berat," papar Sarlito.
Upaya deradikalisasi menurut Sarlito harus dilakukan oleh sistem, termasuk negara. Lembaga pemasyarakatan (lapas) salah satunya harus lebih memahami cara memberlakukan eks pelaku teror. Padahal kebanyakan yang terlibat terorisme banyak yang masih bisa dihapuskan pandangan radikalnya.