Kamis 18 Feb 2016 06:11 WIB

DPR Harus Dialogkan Revisi UU KPK dengan Masyarakat

Rep: umi nuf fadhilah/ Red: Muhammad Subarkah
 Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi tolak revisi UU KPK di halaman gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/2).  (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melakukan aksi tolak revisi UU KPK di halaman gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/2). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID,((BERITA PAGI)) Revisi UU KPK, P

JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Charles Simabura meminta DPR RI membuka ruang untuk dengar pendapat dengan masyarakat menyoal revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"DPR RI seharusnya proaktif dong, orang-orang itu diundang datang, buka ruang," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (18/2).

Sebab, jika berbicara mengenai presentasi pembentukan undang-undang, terdapat asas keterbukaan. Salah satunya, harus ada partisipasi masyarakat. "Nah, sekarang masyarakat sudah bereaksi, DPR harus buka ruang, panggil, minta pendapat," ujar Charles.

Ia menjelaskan, secara substansi, DPR seharusnya meminta masukan dari masyarakat. Dengan begitu, jika DPR tidak memberikan ruang kepada masyarakat, ia menilai anggota DPR tidak membaca undang-undang.

Charles menilai, perlu gerakan nyata meredam gejolak revisi UU KPK yang kian santer terdengar. Salah satunya, telah disuarakan oleh delapan guru besar dari sejumlah universitas di Indonesia dan Masyarakat Sipil Antikorupsi beberapa waktu lalu.

Orang-orang yang bisa mengakses DPR, menurutnya, bisa datang langsung mewakili masyarakat sipil daerah menyampaikan aspirasi ihwal revisi UU KPK, termasuk mengajukan rapat dengar pendapat antara masyarakat dan DPR RI.

"Kita di daerah kan nggak mungkin, pasti pakai perwakilan," ujarnya.

Meminjam bahasa Ibu Megawati, Charles mengatakan, butuh perubahan semesta menyoal revisi UU KPK. Maksudnya, semua kalangan harus bergerak lewat jaringan yang dimiliki masing-masing. Salah satunya, seperti yang masif dilakukan di media sosial hingga turun ke jalan.

"Sebesar mungkin dukungan masyarakat penolakan. Makanya, lebih konkret betul, kan harus ada dialog di sana," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement