Rabu 17 Feb 2016 20:37 WIB

Praperadilan akan Dimasukkan dalam UU Terorisme

Rep: Agus Raharjo/ Red: Ilham
Wakil Sekjen Fraksi PPP kubu Romahurmuzziy, Arsul Sani
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Wakil Sekjen Fraksi PPP kubu Romahurmuzziy, Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI menilai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mengatur implikasi pelanggaran penegakan hukum soal terorisme. Hal ini akan menjadi salah satu perhatian dari DPR dalam revisi UU Terorisme.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Arsul Sani mengatakan, praperadilan perlu diatur dalam UU Terorisme untuk menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) akibat tindakan aparat hukum dalam pemberantasan terorisme.

“Artinya, jika dirugikan bisa tetap datang ke hakim bahwa dalam UU perlu dipertegas ketentuan praperadilan di KUHAP tetap diatur,” kata Arsul di kompleks parlemen Senayan, Rabu (17/2).

Menurut Arsul, dalam rapat dengar pendapat dengan pakar terorisme dari Belanda, DPR menanyakan soal implikasi hukum adanya pelanggaran dalam penegakan terorisme. Pakar tersebut menyebut di negara manapun menerapkan sistem praperadilan sebagai perimbangan dari kewenangan penegak hukum yang luas.

Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menegaskan, UU Terorisme ini juga bisa dianggap sebagai UU ‘lex specialis’. Hal ini dapat diatur dalam UU berikutnya. Karena itu, dia setuju dengan revisi yang diinisiasi pemerintah. Namun, revisi ini harus juga menata kembali perlindungan terhadap HAM.

"Jangan hanya meminta perluasan kewenangan, tapi harus diimbangi dengan perluasan terhadap perlindungan HAM," kata dia.

Dalam praperadilan nanti, lembaga peradilan tidak hanya akan memutus apakah tindakan aparat salah atau benar, tapi juga harus mencari kebenaran apakah pihak yang diduga sebagai teroris mengalami penyiksaan selama masa penahanan. Terlebih, pemerintah berkeinginan untuk memperpanjang masa penahanan pada terduga teroris selama 30 hari.

Arsyul mengatakan, dalam sistem hukum di negara lain, ada lembaga praperadilan yang terkait soal terorisme. Hakim praperadilan hanya perlu diatur dan memiliki sertifikasi, jadi tidak perlu sampai membentuk lembaga peradilan terorisme sendiri. Misalnya di negara Australia dan Inggris, praperadilan sangat efektif. “Dia bisa menuntut bahwa penahanan tidak sah,” kata dia.

Selain praperadilan, Baleg juga menanyakan soal penerapan hukuman mati terhadap terpidana terorisme, sebab Indonesia masih mengenal pidana mati sebagai hukum positif. Namun, Arsul mengatakan, Eropa sudah menghapus hukuman mati sebagai salah satu hukum positif. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement