Rabu 17 Feb 2016 00:15 WIB

KPI: Pelarangan Promosi LGBT di Televisi untuk Lindungi Masyarakat

Rep: Umi Nur Fadilah/ Red: Bilal Ramadhan
Puluhan massa dari Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Provinsi Jabar bersama elemen muda, mahasiswa dan masyarakat Muslim Bandung, menggelar aksi menolak LGBT, di depan DPRD Jabar, Jl Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (11/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Puluhan massa dari Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Provinsi Jabar bersama elemen muda, mahasiswa dan masyarakat Muslim Bandung, menggelar aksi menolak LGBT, di depan DPRD Jabar, Jl Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (11/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan bukan propaganda yang dilarang ditayangkan, melainkan program promosi kaum LGBT.

"Jika kita berikan panggung kelompok tersebut, itu bagian promosi," kata Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Idy Muzayyad dalam diskusi di salah satu stasiun televisi swasta, Selasa (16/2).

Pelarangan promosi tersebut sesuai dengan UU khususnya Pancasila yang berketuhan dan berkemanusiaan. HAM, ia menyebut harus dikonsteksualkan kondisi di Indonesia. Sementara di negara ini, ia mengatakan, semua agama sepakat yang berlaku adalah norma.

"(Pelarangan promosi karena) Indonesia mempunyai jati diri, tidak bisa disamakan dengan bangsa lain yang melegalkan perkawinan sejenis," tuturnya.

Ia menyebut, konteks pelarangan itu semata-mata untuk kepentingan publik. Ia mendukung penyataan salah satu aktivis komunitas LGBT, Hartoyo yang mengatakan, 'kami tidak akan membuat semua masyarakat Indonesia menjadi homoseksual'. Sebab, jika yang terjadi sebaliknya, maka komunitas LGBT lebih kejam dari pembunuhan atau fitnah.

Idy berujar pelarangan tayangan promosi LGBT juga ingin melindung deskriminasi kaum yang mempunyai penyimpangan seksual. "Mereka akan di-bully, diolok-olok. Makanya sebaiknya tidak usah muncul di televisi, jangan ada promosi," jelasnya.

Harus ada fungsi kontrol sosial terhadap masyarakat karena menyangkut kepantingan publik. "Publik yang merasa terancam kan harus dilindungi. Itu kebijakan berdaasarkan kajian," kata Idy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement