Selasa 16 Feb 2016 13:46 WIB

Pemerintah Dinilai Belum Sigap Atasi Gelombang PHK

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Winda Destiana Putri
Buruh desak Setop PHK
Foto: Mardiah
Buruh desak Setop PHK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai belum sigap mengatasi terjadinya gelombang ribuan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia pada awal tahun ini.

Jika pemerintah lambat menanganinya, maka bisa berdampak buruk terhadap upaya perbaikan ekonomi nasional sekaligus memukul popularitas Joko Widodo-Jusuf Kalla di mata publik.

'Besarnya jumlah PHK menjadi persoalan yang tak bisa dianggap sepele. "Meski pemberitaan seputar PHK ini mampu 'diredam' oleh lahirnya sejumlah kasus besar di negeri ini namun sesungguhnya persoalan ini harus tetap menjadi perhatian serius dari pemerintah,'' kata pengamat ekonomi dari Indosterling Capital William Henley dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (16/2).

William mengatakan munculnya ribuan PHK membuat optimisme pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat menjadi terkendala.

Penurunan harga BBM pada awal tahun ini, kata dia, akan tidak berdampak signifikan ketika laju PHK tak bisa diantisipasi dengan baik oleh pemerintah.

Menurut William, wacana memberikan insentif bagi industri padat karya berupa keringanan pajak penghasilan dan tax allowance sudah saatnya diberlakukan. Ia mengibaratkan kondisi yang terjadi sekarang sudah tergolong panggilan darurat yang harus segera dituntaskan dan dicarikan jalan keluarnya.

''Setidaknya ada lima industri padat karya yang perlu diberikan insentif tersebut, yaitu mebel, garmen, tekstil, mainan, dan alas kaki,'' kata dia.

Kebijakan lain yang perlu segera direalisasikan yakni dengan memberikan keringanan PPh 21 yang dibayarkan oleh perusahaan kepada pegawai yang bekerja pada industri padat karya.

Kebijakan ini berupa rencana pemotongan tarif pajak penghasilan (PPh) hingga 50 persen. Karyawan yang berhak menikmati keringanan PPh adalah mereka yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 5 juta per bulan.

Untuk keringanan pajak ini dapat berlaku bagi industri padat karya yang memiliki jumlah karyawan minimal 5.000 orang. Selain itu, kata dia lagi, perusahaan tersebut harus berorientasi ekspor, dimana 50 persen dari total produksi ditujukan untuk ekspor.

Penerapan kebijakan ini diharapkan bisa memberikan dampak ganda, di satu sisi pengusaha bisa lebih menghemat dalam membayar pajak, di sisi lain para buruh terhindar dari pemecatan dan tetap memiliki daya beli. Inilah yang harusnya segera dilakukan oleh pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement