REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pemerintah dianggap belum serius menyikapi permasalahan terkait masyarakat adat. Padahal ada berbagai asalah yang seringkali menimpa masyarakat adat. Salah satunya sengketa tanah adat, seperti yang dialami masyarakat desa Lumban Sitorus, Parmaksian, Toba Samosir.
Masyarakat adat ini mempermasalahkan tanah adat Jior Sisada-sada (36 hektare) dan Silosung (enam hektare) di kecamatan Porsea (saat ini Parmaksian), Toba Samosir. Tanah adat tersebut digunakan PT Inti Indorayon Utama (IIU) sejak tahun 1984.
PT IIU yang saat ini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) memanfaatkan tanah masyarakat adat tersebut untuk mendirikan pabrik dan lahan untuk pembibitan. Ketua Persatuan Masyarakat Adat Desa Lumban Sitorus, Esron Sitorus mengatakan, pengambilan tanah adat tersebut tanpa melakukan proses sebelumnya.
"Klaim ganti rugi itu tidak ada. Kami akan perjuangkan tanah adat itu kembali tanpa ada diskusi, negosiasi dengan PT TPL," kata Esron dalam konferensi pers di Medan, Senin (15/2).
Esron mengatakan, pendekatan hanya dilakukan terhadap para tokoh adat di beberapa desa di kecamatan tersebut. Pada tahun 1985, perusahaan tersebut melakukan pembayaran ganti rugi kepada warga empat desa lainnya, kecuali warga desa Lumban Sitorus.
"Masyarakat Lumban Sitorus dengan tegas mengatakan bahwa sejak tahun 1985 hingga saat ini belum pernah mendapatkan ganti rugi apa pun atas tanah tersebut. Masyarakat seperti tidak ada hak atas tanah adatnya," kata Esron.
Sementara itu, salah satu warga Lumban Sitorus, Ramelan Sitorus (63) membenarkan tidak adanya upaya pendekatan dari pihak perusahaan. "Alasannya tanah kosong," kata Ramelan.
Ia menyebutkan, ada 172 kepala keluarga yang ada di desa Lumban Sitorus dan belum mendapatkan haknya. Ramelan pun mengaku, pihaknya jenuh dengan tuntutan ganti rugi.
"Pada April 2015 ketika RDP dengan DPRD Sumut, ditunjukkan daftar penerima ganti rugi. Ada 72 penerima yang disebut telah menerima tapi itu bukan warga Lumban Sitorus," ujarnya.
Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM Delima Silalahi mengatakan, apa yang terjadi pada warga Lumban Sitorus tersebut memang seringkali terjadi pada masyarakat adat. Apalagi, masyarakat adat tidak memiliki alas hak atas tanah tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat adat seringkali malas menempuh jalur hukum karena selalu kalah di peradilan, termasuk warga Lumban Sitorus.
"Perusahaan memiliki SK, izin kementerian. Sedang masyarakat cuma punya sejarah adat dan silsilah yang tidak diakui hukum positif Indonesia," kata Delima.
Oleh karena itulah, Delima mengatakan, pihaknya mendorong kepala daerah untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Adanya Perda ini, lanjutnya, agar masyarakat adat memiliki alas hak atas tanah adat mereka. Selain itu, Perda Masyarakat Adat juga untuk menepis anggapan bahwa selama ini pemerintah cenderung berpihak pada perusahaan.
"Kami minta pemerintah memberi respon. Masalah seperti ini banyak dihadapi masyarakat adat di mana saja. Padahal memperjuangkan tanah adat bukan pelanggaran hukum," ujarnya.