Senin 15 Feb 2016 00:58 WIB

Indonesia Dinilai Gegabah Ikut MEA

Rep: Christiyaningsih/ Red: Citra Listya Rini
Industri Kecil Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/ss/pd/15
Industri Kecil Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Peneliti Senior  Mazhab Djaeng for Multicultural Studies and Social Science Malang, Hasbullah Halil mengatakan keputusan  pemerintah melibatkan Indonesia dalam persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah keputusan yang salah dan gegabah. Ia menilai sejauh ini masyarakat Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapi persaingan global tersebut.

"Dengan berlakunya MEA, maka masyarakat kecil akan semakin tertindas, tenaga kerja Indonesia akan tergantikan oleh tenaga kerja asing yang notabanenya sudah dipersiapkan secara kemampuan sejak lama. Apabila hal ini dibiarkan, maka kemiskinan di Indonesia akan semakin meningkat," kata Halil akhir pekan ini.

Menurut Halil, MEA hanya akan membawa dampak buruk bagi Indonesia. Hegemoni kapitalis global akan semakin merajalela dan eksploitasi sumber daya alam hanya akan menguntungkan pihak asing. Sedangkan rakyat  Indonesia hanya akan menerima efek buruknya.

Selain itu, kata alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhamadiyah Malang itu, dengan berlakunya MEA, maka, mau tidak mau pemerintah akan membangun infrastruktur yang mendukung. Infrastruktur tersebut hanya akan dinikmati oleh para pengusaha, terutama pengusaha dari negara lain. Sementara kaum pribumi menengah ke bawah hanya menjadi penonton yang tidak berdaya karena minim kemampuan.

"Semakin banyak pembangunan infrastruktur, maka akan semakin banyak lahan-lahan produktif yang akan digantikan dengan bangunan berupa jalan tol, pelabuhan, hotel, apartemen, dan bangunan beton lainnya," ucap dia.

Halil juga menegaskan masyarakat kita hanya akan menjadi pembantu di negeri sendiri. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan dasar saja Indonesia masih harus mengimpor. Belum lagi kebutuhan yang lain, pakaian produk Indonesia kalah saing dengan pakaian produk negara lain. Dalam bidang industri otomotif, sambungnya, Indonesia tidak punya apa-apa, semuanya dikuasai Amerika.

Banyak perusahaan tambang di negeri ini, mulai dari minyak, gas, nikel, sampai emas, tapi semuanya bukan punya Indonesia. "Lantas kita mau bersaing di bidang apa?," tanya dia.

Direktur Riset dan Advokasi Mazhab Djaeng, Anhar Putra Iswanto memberikan pandangan berbeda mengenai MEA. Menurutnya, MEA tidak boleh dilihat secara pesimis, harus dilihat dengan optimistis.‎ Indonesia sudah terlanjur masuk ke dalam sistem, tidak mungkin keluar dengan tangan kosong atau tanpa resiko.

"Jalan satu-satunya harus kita hadapi, segala kelemahan yang kita miliki harus dirubah agar menjadi kekuatan," katanya. Karenanya, hal yang harus dilakukan sekarang adalah meningkatkan kualitas, skill, kemampuan dan daya saing. Masyarakat dan pemerintah harus bersinergi, bukan malah berkonflik.

Anhar menilai sejauh ini pemerintah kurang mempersiapkan kemampuan masyarakatnya. Sehingga rasa pesimis itu selalu menjadi masalah tersendiri bagi Indonesia. Maka, yang harus dilakukan sekarang adalah mendorong pemerintah agar memberikan pelatihan-pelatihan khusus dalam berbagai bidang.

"Selain itu, yang harus diperkuat adalah kualitas pendidikan, karena dengan begitu maka Indonesia akan memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas dan siap bersaing dengan manusia dari negara lain," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement