Rabu 10 Feb 2016 16:57 WIB

'Bapak Presiden, Kasihan Guruku, Revolusi Mental Gatal'

Rep: C18/ Red: Ilham
Demo guru honorer yang tergabung dalam PGRI.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Demo guru honorer yang tergabung dalam PGRI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tampilan berbeda ditunjukan Badri dalam aksi unjuk rasa guru honorer di depan Istana Negara, Rabu (10/2). Badri tampil menggunakan seragam siswa Sekolah Dasar lengkap beserta dasi dan atribut sekolah lainnya.

Ditangan Badri, tertulis sebuah kertas print yang dilaminating bertuliskan 'Save k2, bapak presiden...kasihan guruku... revolusi mental, gatal... gagal total' tulis Badri dalam kertas kuning yang digenggamnya itu.

Kostum itu digunakan pria 50 tahun itu sebagai simbol prihatin yang ditunjukan siswa SMA Madura terkait nasib tenaga pengajar honorer. Selama 20 tahun aktif mengajar, Badri belum juga diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Badri merasa dibohongi oleh pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) terkait pengangkatan mereka menjadi PNS. Dia menyebut kemenpan RB lalai menjalankan tugas mereka.

"Kesejahteraan pegawai honorer itu masih jauh dibawah rata-rata. Negara lalai soal kebutuhan guru honorer," kata Badri di Jakarta, Rabu (10/2).

Menjadi tenaga honorer, Badri mendapatkan upah sekitar Rp 500 ribu perbulan. Minimnya honor yang dia terima membuatnya harus mencari pemasukan tambahan dengan bekerja serabutan.

"Kadang di sela mengajar setelah memberi tugas kepada siswa saya ke pasar berdagang burung jenis Lovebird," kata Badri.

Menurut Badri, Kemenpan pernah menjanjikan pengangkatan mulai dari 2015-2019 kepada seluruh guru honorer secara bertahap. Namun, Kemenpan ternyata membohongi tenaga kerja honorer terkait pengangkatan tersebut.

"Pada 20 Januari 2016 Kemenpan RB berbohong, tidak ada pengangkatan. Alasanya tidak ada payung hukum dan anggaran kurang," katanya.

Badri bersama ribuan buruh lainnya akan melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara hingga Jumat (12/2), lusa. Badri sendiri tak yakin dapat bertahan dalam tiga hari ke depan, mengingat uang saku yang tersisa di kantong hanya Rp 4.000 rupiah.

"Mungkin nginep di dalam bus, di mana saja. Yang penting kami mendapat kejelasan pengangkatan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement