Rabu 10 Feb 2016 14:57 WIB

'Cupangisasi', Cara Camat Koja Cegah DBD

Rep: c33/ Red: Andi Nur Aminah
Ikan cupang (ilustrasi)
Foto: Google
Ikan cupang (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Camat Koja, Jakarta Utara, Rahmat Effendi, mengakui kasus demam berdarah dengue (DBD) di wilayahnya cukup tinggi. Sebagai solusi alternatif, ia menawarkan program untuk memberantas jentik nyamuk, yakni "cupangisasi".

Rahmat merasa upaya pembersihan sarang nyamuk (PSN) mampu didukung dengan upaya alternatif yang ia coba galakkan. Ia menawarkan solusi pemberantasan jentik nyamuk lewat ikan cupang. Karena itulah, solusi tersebut dinamainya cupangisasi. Ia pun akan menggunakan ikan cupang yang telah dibibit oleh warga di wilayahnya.

“Ini istilahnya cupangisasi, memafaatkan ikan cupang karena harganya juga murah. Sudah ada stimulan kepada masyarakat ini diberikan gratis kepada mereka, jumlahnya sekitar dua ikan per tempat penampungan air,” katanya menjelaskan.

Ia menjelaskan, nantinya ikan cupang bisa diletakkan warga di tempat-tempat penampungan air. Tujuannya supaya jika ada jentik nyamuk di sana, bisa langsung dimakan oleh si ikan cupang. Ia merasa cupang mempunyai daya tahan tinggi sehingga perawatannya tidak merepotkan warga. “Cupang ini daya tahannya tinggi bisa hidup empat tahun dan tidak perlu perawatan khusus. Jadi, bisa membantu membunuh jentik,” ucapnya.

Berdasarkan data dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara pada Selasa (9/2), Kecamatan Koja menempati posisi tertinggi kasus DBD di Jakarta Utara, yakni 35 kasus. Padahal, Rahmat mengaku sudah menjalankan program juru pemantau jentik (jumantik) dengan maksimal. Apalagi, ia mengatakan, pihak puskesmas, kelurahan, RT, dan RW selalu dilibatkan dalam PSN. 

“Masalah besarnya itu bagaimana menyadarkan masyarakat untuk hidup bersih. Ada lurah yang sempat membersihkan sendiri rumah warga karena ada kasus DBD di rumah itu, tapi warganya malas bersih-bersih,” katanya kepada Republika.co.id, Rabu (10/2).

Rahmat menawarkan solusi cupangisasi karena menurutnya upaya menguras, mengubur, menutup (3M) terbilang sulit dilakukan di wilayahnya. Dengan begitu, ia berharap solusi alternatif ini bisa berjalan maksimal.

“3M tetap jalan, tapi sulit cari lahan untuk mengubur, menguras itu kebanyakan masyarakat sibuk, dan menutup (tempat penampungan air) itu masih ada yang lupa,” tuturnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement