REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Ahmad Bagja menduga sekarang ini muncul usaha berupa penggiringan opini untuk menghalangi Ade Komarudin maju sebagai calon ketua umum Golkar. Menurut Bagja, dalil seorang ketua DPR tak bisa menjadi ketum partai adalah alasan yang tidak elegan.
“Isu ini (Akom tak layak jadi ketum Golkar karena sudah ketua DPR--Red) sebenarnya tidak tepat,” ujar Bagja di Jakarta, Selasa (9/2).
Bagja memberikan contoh ketika Golkar dipimpin oleh politikus yang juga memiliki jabatan di lembaga negara, misalnya ketika Golkar dipimpin Akbar Tandjung yang juga ketua DPR. Bahkan, Jusuf Kalla pernah menjadi ketua umum Golkar di saat posisinya menjadi wakil presiden era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Di partai lain, Bagja juga mengatakan, ada Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi presiden sekaligus mengetuai Partai Demokrat.
Lantas, ketika merujuk pada perjalanan sejarah Partai Golkar pascareformasi, Bagja mengatakan, sebenarnya tidak ada yang salah ketika posisi ketua umumnya dirangkap oleh politikus yang memimpin lembaga negara. “Merujuk pada sejarah tadi, tidak ada larangan untuk menjadi ketua DPR sekaligus ketua partai,” ujarnya.
Dengan demikian, Bagja menganggap suara-suara yang menyudutkan Akom, demikian akronim yang biasa diberikan pada Ade Komarudin, hanya untuk menghambat politikus asal Purwakarta, Jawa Barat, itu dalam bursa calon ketua umum Golkar pada musyawarah nasional (munas) yang akan datang.
“Jadi, argumentasi yang dijadikan opini terhadap Akom sangat tidak benar dan sengaja untuk menggiring agar Akom tidak mencalonkan diri sebagai ketua umum Golkar,” katanya.