Senin 08 Feb 2016 14:37 WIB

Hikmahanto: MEA Dapat Merugikan Indonesia

Rep: Lintar Satria/ Red: Bayu Hermawan
Hikmahanto Juwana
Foto: Dok.pribadi Facebook
Hikmahanto Juwana

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pakar hukum internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana mengatakan ada lima implikasi yang terjadi ketika era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai berjalan.

Menurutnya, implikasi pertama adalah negara-negara Asean melakukan integrasi ekonomi untuk mempertahankan diri dari negara-negara besar yang bersaing untuk mendapatkan pasar dan tempat produksi. Integrasi ekonomi merupakan keniscayaan bagi negara-negara yang harus berhadapan dengan negara besar.

"Kedua, agar di kawasan Asia Tenggara terjadi pertumbuhan ekonomi dan mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya maka pembentukan MEA menjadi suatu keharusan," katanya di Universitas Indonesia, Sabtu (6/2).

Hikmahanto melanjutkan, implikasi ketiga adalah adanya sejumlah konsekuensi dari pembentukan MEA. Salah satunya adalah pembentukan lembaga supranasional dilingkungan ASEAN.

Lembaga supranasional memiliki kewenangan untuk menerbitkan kebijakan yang harus diikuti oleh negara-negar anggota MEA.

Kemudian keempat, meski suatu keharusan namun di awal pembentukannya, MEA belum menjadikan ekonomi negara-negara ASEAN terintegrasi secara penuh. Banyak alasan untuk ini. Terakhir, lanjutnya,  tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam MEA cukup banyak.

"Kini saatnya pemerintah harus mengatasinya agar MEA benar-benar membawa keuntungan bagi Indonesia dan bukan sebaliknya," ujarnya.

Ia mengatakan pemerintah tentu tidak bisa semata bertumpu pada aturan-aturan atau hukum perdagangan internasional. Jawaban utama dari berbagai tantangan di era MEA bagi Indonesia adalah pendidikan bagi sumber daya manusia di Indonesia.

Pemerintah harus mengalokasikan dana yang memadai bagi penempaan sumber daya manusia yang tidak hanya terbatas di kota-kota besar tetapi juga di daerah-daerah terpencil.

Mantan dekan fakultas hukum UI ini menambahkan masyarakat, pelaku usaha dan pejabat tentu harus mengubah cara berpikir (mindset) di era MEA.

Seperti Kusrin yang harus menghadapi proses hukum karena TV hasil rakitannya tidak ber-SNI atau Rompi anti Kanker Dr Warsito yang dipermasalahkan.

Seharusnya mereka-mereka ini mendapat bimbingan dari pemerintah sehingga menjadi wirausaha yang tangguh, bukan sebaliknya malah dikejar-kejar dari segi hukum dan perizinan.

"Tanpa mengubah cara berpikir maka sudah dapat dipastikan Indonesia bukannya mendapat keuntungan dari MEA, justru akan mendapat kerugian," katanya lagi.

(Baca: Hikmahanto: Jangan Ada Kasus Kusrin dan Warsito di Era MEA)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement