Kamis 04 Feb 2016 02:32 WIB

Poin-Poin yang Dianggap Perlemah KPK dalam Revisi UU

Red: Nur Aini
Wakil Ketua KPK  Laode Muhammad Syarief
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pimpinan KPK menilai draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi justru akan melemahkan lembaga antikorupsi tersebut.

"Saya bisa pastikan kepada teman-teman semua sebagian besar dari draf ini adalah pelemahan, lebih dari 90 persen bukan penguatan terhadap KPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu (3/2).

Pada Kamis (1/2), rencananya dilangsungkan rapat antara KPK dengan Badan Legislasi DPR untuk mediskusikan draf revisi UU KPK tersebut. "KPK akan hadiri rapat di Baleg besok, tapi yang akan hadir bukan kominisioner tapi deputi atau biro hukum untuk menyampaian poin-poin yang akan disampaikan KPK," kata Laode.

Laode menjelaskan bahwa pimpinan KPK sudah menjadwalkan untuk kegiatan lain sehingga tidak bisa hadir dalam rapat. Tim yang akan ke sana mewakili sikap KPK, bukan mewakili orang per orang. Kami lihatnya 90 persen ini memang pelemahan. Jadi, salah kalau mereka bilang ini penguatan," kata Laode.

Setelah meneliti draf revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR tersebut, pimpinan KPK melihat ada sejumlah aturan yang mengarah pada pelemahan. Hal itu seperti soal kewenangan Dewan Pengawas yaitu penyadapan harus minta izin Dewan Pengawas. "Ini betul-betul kita anggap yang melemahkan sehingga kami anggap tidak cocok dengan apa yang dikerjakan selama ini," ungkap Laode.

Soal penyadapan, misalnya diatur pada Pasal 12A yang menyatakan bahwa penyadapan dapat dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis Dewan Pengawas (ayat 1). Pimpinan KPK meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan (ayat 2), dan penyadapan dilakukan paling lama 3 bulan sejak izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama (ayat 3).

Butir lain yang disoroti adalah mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 25 miliar dan bila di bawah jumlah tersebut wajib diserahkan kepada Kepolisian atau Kejaksaan Agung (pasal 11 ayat 1 dan 2).

"Hal (minimal kerugian) ini pun akan kami diskusikan karena sebenarnya bukan soal besaran uangnya tapi soal aktor yang melakukan tindak kejahatan pidana korupsi itu. Misalnya anggap saja seorang pejabat tinggi, dia hanya misalnya kurang dari Rp 1 miliar, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kan bukan hanya untuk mengembalikan kerugian negara tetapi ingin mengubah perilaku seseorang supaya jangan melakukan tipikor di kemudian hari," jelas Laode.

Persoalan lain yakni pembentukan Dewan Pengawas yang diatur dalam Pasal 37 yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenangn KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa ada dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK, melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala dalam 1 tahun dan menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran tertentu dalam UU. Dewan Pengawas tersebut terdiri dari 5 orang yang wajib memberikan laporan secara berkala satu kali dalam satu tahun kepada Presiden dan DPR. Sedangkan anggota Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh Presiden dengan masa jabatan 4 tahun.

Masalah ketiga adalah soal KPK yang disebutkan berwenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan dalam perkara Tipikor (pasal 40). Terakhir adalah mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK (pada pasal 43 dan 45) yang harus berasal dari Kepolisian atau Kejaksaan Agung yang diperbantukan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement