REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Walikota Bekasi, Rahmat Effendi mengklaim angka balita penderita gizi buruk di wilayahnya telah mengalami penurunan. Dari 194 balita penderita gizi buruk, kini turun menjadi 106 balita.
"Hasil pantauan Puskesmas, gizi buruk di Kota Bekasi sudah ada penurunan menjadi 106 balita," kata Walikota Bekasi, Rahmat Effendi saat dihubungi Republika, Rabu (3/2).
Lelaki yang akrab disapa Pepen ini menerangkan, dari jumlah 194 balita penderita gizi buruk, sebanyak 77 di antaranya sudah membaik. Sebanyak 6 balita pindah mengikuti orang tua, sedangkan 5 lainnya meninggal dunia. Penyebab kelima balita ini meninggal berbeda-beda. Empat di antaranya meninggal karena penyakit penyerta, sedangkan satu lainnya mengalami kecelakaan. Sisanya, penderita gizi buruk di Kota Belasi sejumlah 106 balita.
Walikota Bekasi ini juga menekankan, yang dimaksud penderita gizi buruk adalah balita dengan berat badan sangat kurang, tapi tidak ada gejala fisik dan masih dapat beraktivitas seperti biasa. Kondisi ini dapat disebabkan kurangnya asupan makanan, pola asuh orang tua yang salah, kurangnya pengetahuan orang tua, serta penyakit penyerta atau infeksi.
Menurut Pepen, Pemerintah Kota Bekasi telah berupaya menekan angka gizi buruk di wilayahnya. Langkah yang dilaksanakan Dinas Kesehatan adalah melakukan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), serta menghadirkan seluruh balita di setiap Posyandu dengan dukungan kader dan tokoh masyarakat, baik RT, RW, atau lurah. Supaya, seluruh balita dapat terpantau tumbuh kembangnya.
"Dinas Kesehatan juga sudah melaksanakan penyuluhan dan konseling tentang pemenuhan zat gizi yang seimbang, mengunjungi rumah balita yang tidak hadir di Posyandu," kata Walikota Bekasi.
Sementara itu, Sekretaris Komisi D DPRD Kota Bekasi, Daddy Kusradi mengaku, pihaknya baru menerima laporan tersebut dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Secara detail, Komisi D DPRD akan menelaah data tersebut lebih dahulu. Daddy berpendapat, kebanyakan balita menderita gizi buruk lantaran kurangnya kepedulian ibu-ibu muda, baik pada masa hamil maupun setelah si anak lahir.
Menurut Daddy, kurangnya kepedulian tersebut berkorelasi dengan kematangan usia dan tingkat pendidikan si ibu. Dari hasil pantauannya ke beberapa kecamatan, ia hampir selalu menemukan di setiap puskesmas, adanya ibu-ibu muda berusia SMA atau bahkan SMP. Beberapa di antara mereka hamil di luar nikah. Kondisi itu membuat asupan gizi para ibu semenjak hamil sudah kurang terperhatikan. "Kadang-kadang, ke Puskesmas atau Posyandu saja mereka malu," kata Daddy.
Sekretaris Komisi D DPRD ini mengklaim, ketersediaan tenaga kesehatan di Kota Bekasi sudah mencukupi. Namun, keberadaan keluarga yang nomaden atau berpindah-pindah alamat tinggal membuat kader posyandu sulit memantau. Ia mencontohkan, kasus kematian satu balita penderita gizi buruk di RSUD Kota Bekasi tahun Juni 2015 lalu.
Karena itu, menurut Daddy, penanganan angka balita penderita gizi buruk harus melibatkan semua pihak. Selain kesadaran para ibu, ia mengimbau para tokoh masyarakat, seperti Ketua RT, RW, dan Lurah berperan aktif mendorong para ibu hamil dan ibu yang memiliki balita supaya datang ke Posyandu pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan.
Ke depan, kata Daddy, komisi D DPRD juga akan membantu Pemkot menekan angka gizi buruk di Kota Bekasi. Salah satunya, lewat penambahan anggaran kesehatan bagi balita, yang diwujudkan dengan pemberian vitamin dan PMT. Saat ini, kata Daddy, anggaran yang tersedia berkisar 500 juta.
"Kita juga akan mengusahakan penambahan anggaran untuk gizi para balita. Ya, kira-kira jadi setengah miliar-lah," kata dia.