Rabu 27 Jan 2016 13:28 WIB

Aksi Gepeng Cilik demi Jajan Es

Rep: c26/ Red: Friska Yolanda
Anak jalanan
Foto: Dok.Republika
Anak jalanan

REPUBLIKA.CO.ID, Lampu lalu lintas di jalan Jalan Soekarno Hatta perempatan antara Cibaduyut dan Leuwipanjang menyala merah. Kala kendaraan bermotor berhenti, sejumlah bocah berhamburan ke masing-masing ruas jalan. 

Baju kotor, tanpa alas kaki, dan muka kusam, jadi modal utama bocah-bocah ini mendapatkan belas kasihan orang. Mereka menghampiri satu kendaraan ke kendaraan lain sambil menengadahkan tangan.

Mereka adalah para pengemis cilik. Berkeliaran di jalan-jalan ramai, pengemis cilik ini mengharapkan receh-receh yang berarti untuk mereka.

Anak-anak dengan rentang usia empat sampai 10 tahun ini terpaksa turun ke jalan mengais receh. Apapun dilakukan untuk mendapatkan uang. Ada yang minta-minta langsung ke pengendara, menggunakan wajah melas, mereka mencoba membujuk sasaran dengan kalimat-kalimat yang bernada miris.

“Belum makan, Pak. Minta seribu dua ribunya, Pak,” kata mereka.

Cara lain pun dilakukan. Mereka membawa kemoceng untuk membersihkan kendaraan, kemudian meminta bayaran seikhlasnya. Namun, tak semua pengendara mau memberikan uangnya. 

Bahkan terasa tak lagi malu, ada pula yang berjoget-joget di depan kendaraan-kendaraan yang berhenti karena lampu merah. Mereka berjoget sembari menyanyikan lagu dangdut yang tengah populer, seperti ‘Sakitnya Disini’.

Para gepeng ini ramai di perempatan jalan, seperti perempatan Soekarno Hatta-Cibaduyut, LLRE Martadinata-Laswi, Laswi-Gatot Subroto, dan Pasteur-Dago. Selain itu, masih ada banyak titik lain penyebaran para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) ini.

Pekerjaan ini sepertinya bukan keinginan mereka. Berdasarkan pantauan Republika.co.id, di beberapa titik beraksinya gepeng cilik, selalu ada orang dewasa yang berada tak jauh. Mereka seperti mengkoordinasi dan memantau. 

Mirisnya, mereka adalah ibu dari si gepeng cilik yang beraksi. Para ibu ini duduk, sementara anaknya harus mencari receh-receh. Bahkan di perempatan Soekarno Hatta-Cibaduyut, para ibu asyik memainkan telepon seluler di bawah pos dekat lampu merah. Ketika lampu hijau menyala, gepeng-gepeng cilik kembali dan memberikan receh yang didapatkannya kepada sang ibu.

Deri, pengemis cilik yang biasa beraksi di perempatan Laswi-Gatot Subroto mengatakan, dirinya meminta-minta supaya bisa membeli jajanan kesukaannya. Sehari, ia bisa mendapatkan hingga Rp 30 ribu yang akan diberikan ke ibunya. 

“Dikasih ke mama, paling Rp 5.000 buat beli jajan es sama yang lain,” katanya polos.

Bocah berusia tujuh tahun itu pun tidak bersekolah. Deri hanya tahu ibunya tidak mampu membiayai sekolah. Karenanya, ia harus membantu mencari uang agar bisa tetap makan.

Kota Bandung termasuk salah satu wilayah dengan jumlah gelandangan pengemis (gepeng) yang besar. Berdasarkan catatan Dinas Sosial Kota Bandung, sepanjang tahun 2015 lalu, ada 1.118 gepeng dan anak jalanan (anjal) yang berhasil dilakukan penjangkauan. 

Sekretaris Dinas Sosial Kota Bandung Medi Mahendra mengaku prihatin dengan keberadaan gepeng-gepeng cilik ini. Mereka merupakan calon generasi bangsa yang nasibnya harus menjalani kehidupan pahit di jalanan.

Medi mengatakan, kondisi ini tidak lepas dari kondisi ekonomi keluarga mereka. Kebanyakan, mereka berasal dari daerah lain di Jabar. Keluarganya mencoba peruntungan di Kota Bandung tanpa kemampuan dan modal. Akibatnya, mengemis menjadi alternatif untuk tetap mempertahankan hidup.

“Berharap dapat hidup layak, tapi ke sini tanpa skill, ujung-ujungnya jadi PMKS,” ujar Medi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement