Jumat 22 Jan 2016 04:17 WIB

Pekerja Rumahan di Sumut Belum Jadi Perhatian Serius Pemerintah

Rep: Issha Harruma/ Red: Julkifli Marbun
ilustrasi
Foto: Republika/Agung Supriyanto
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Keberadaan pekerja rumahan di Sumatera Utara dinilai masih belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Tidak adanya perlindungan dan pengakuan hukum dari pemerintah terlihat dari tidak adanya peraturan yang mengatur secara khusus mengenai pekerja rumahan di Sumut.

"Untuk itu perlu adanya dorongan pada pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja rumahan dalam bentuk Perda," kata Ketua Badan Pengurus Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, Wahyudi di Medan, Kamis (21/1).

LSM yang berbasis di wilayah Sumatera Utara ini bergerak dalam bidang perubahan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka mendampingi masyarakat perdesaan yang merupakan wilayah kerja BITRA di enam Kabupaten/kota di Sumatera Utara, yakni Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Binjai, Padang Lawas, dan Labuhan Batu Utara.

Wahyudi mengatakan, selama ini, BITRA menilai, banyak permasalahan yang dialami oleh pekerja rumahan. Lokasi bekerja para pekerja yang berada di rumah dan lingkungan yang sulit terjangkau membuat mereka sulit diidentifikasi dan dipetakan. Akibatnya, tidak ada pengakuan sebagai pekerja dan mereka tidak terdaftar dalam data statistik sebagai pekerja.

"Akibatnya, pekerja rumahan terisolasi dan rentan kesulitan menuntut perlindungan hukum yang kuat, pemantauan dan pengawasan oleh pihak berwenang," ujarnya.

Selain itu, status hubungan kerja tidak yang jelas membuat posisi atau daya tawar pekerja rumahan menjadi lemah. Relasi kerja yang tidak jelas antara pekerja rumahan dan pemberi kerja membuat mereka tidak bisa menegosiasikan hak-hak mereka. Sehingga seringkali hal tersebut dilanggar oleh pemberi kerja, misalnya memberi pendapatan yang tidak layak.

"Masih sangat tidak adil, misalnya dari sisi upah. Masih kecil sekali. Mereka sangat dieksploitasi," kata Wahyudi.

"Mereka tidak tahu siapa pemberi kerja karena hanya dari perantara. Kami berharap relasi kerja lebih jelas dan adil, sehingga upah bisa dinego dan resiko pekerjaan bisa ditanggung bersama," ujarnya lagi.

Selain upah yang rendah, Wahyudi mengatakan, pekerja rumahan juga tidak mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dari pemberi kerja. Mereka menanggung biaya berobat sendiri tanpa ada bantuan dari pemberi kerja.

"Pengusaha belum terlalu positif merespon ini. Seolah karena kepentingan mereka terganggu terutama terkait tanggung jawab atas pekerja rumahan mereka," ujar Wahyudi.

Melihat itu, Yayasan BITRA Indonesia pun merekomendasikan Pemda untuk mengeluarkan kebijakan dan Perda tentang perlindungan pekerja rumahan.

Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumut, Fransisco Bangun mengatakan, untuk melahirkan Perda tersebut, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan.

"Perda ini harus memberi kepastian, bukan hanya pekerja rumahan tapi juga pemberi kerja, kemudian keadilan untuk semua dan juga kemanfaatan. Kebijakan harus komprehensif mengatur pra hingga pasca bekerja, semua pihak harus terlindungi," kata Frans.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement