Kamis 21 Jan 2016 00:49 WIB

Revisi UU Antiterorisme Dinilai Terlalu Reaktif

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Achmad Syalaby
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).
Foto: Antara
Pakar hukum Unpar Asep Warlan Yusuf (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf menyatakan, rencana untuk merevisi  Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya sebuah reaksi akibat terjadinya serangan teror di kawasan Thamrin, Jakarta.

Padahal, belum ada sebuah kajian dan evaluasi yang komperhensif sejauh mana efektifitas Undang-Undang tersebut jika benar-benar direvisi. Asep khwatir, revisi undang-undan malah akan menimbulkan tindakan represif yang dikhawatirkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Yang dikhawatirkan akan menjadi potensi pelanggaran HAM karena hanya data intelejen saja, sudah cukup untuk menahan. Padahal belum tentu ada pelanggaran hukum," kata Asep saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/1). (Baca: Revisi UU Terorisme, Evaluasi Dulu Salah Tangkap Aparat).

Asep melanjutkan,  jika hanya data intelejen saja sudah cukup untuk menahan, bisa jadi kunjungan seseorang ke luar negeri dijadikan  bukti awal untuk dilakukan penahanan. Padahal, orang tersebut belum tentu memiliki motif untuk berbuat teror.

"Karena intelejen itu kan hanya sekedar mengait-ngaitkan dari suatu perbuatan ke perbuatan yang lain. Kemudian dibuatlah gambar besarnya. Padahal belum tentu orang tersebut punya motif untuk berbuat teror," ucap Asep.

Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso mengatakan perlu ada perbaikan undang-undang yang mengatur kewenangan intelijen. Sutiyoso meminta agar BIN diberikan kewenangan untuk menagkap dan menahan teroris. Tujuannya agar Indonesia lebih aman dari ancaman teroris.

Menurut Sutiyoso teroris sulit ditangkap akibat batasan pada aturan tersebut. Polri yang memiliki kewenangan untuk menangkap dan menahan juga menghadapi keterbatasan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement