Rabu 20 Jan 2016 15:27 WIB

NasDem: Cegah Terorisme tak Harus Menunggu Revisi UU

Rep: Amri Amirullah/ Red: Ilham
Warga menyalakan lilin dalam aksi solidaritas korban bom di Jl. MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (16/1) malam. Aksi tersebut sebagai renungan dan refleksi masyarakat terhadap kejadian bom dan penembakan di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta (14/1/2016).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Warga menyalakan lilin dalam aksi solidaritas korban bom di Jl. MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (16/1) malam. Aksi tersebut sebagai renungan dan refleksi masyarakat terhadap kejadian bom dan penembakan di kawasan Sarinah, Thamrin, Jakarta (14/1/2016).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-Undang (UU) nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme semakin santer digaungkan setelah serangan teror bom Thamrin 14 Januari, lalu. Namun Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Mayor Jendral TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra menilai revisi UU Terorisme ini bukan satu-satunya opsi untuk menangkal dan memberangus teroris di Indonesia.

Menurut dia, terdapat metode lain yang bisa dijalankan bersama di tataran pemerintah pusat hingga daerah. Cara ini menurutnya tak butuh waktu panjang, seperti halnya revisi UU terorisme yang harus melalui proses Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), memanggil stake holder, dan rangkaian Rapat Dengar Pendapat (RDP).

“(Revisi UU) Itu membutuhkan waktu lama, tidak cukup satu dua bulan," katanya, Selasa (19/1). (Jokowi Buka Opsi UU Baru Pencegahan Terorisme).

Sekarang yang harus segera dilakukan yaitu melibatkan pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat itu sendiri. Dan yang paling utama, perankan Babinsa, Koramil, dan Polsek untuk mendeteksi.

Anggota Komisi I DPR RI ini menegaskan bahwa revisi Undang-undang apa pun, harus memperhatikan aspek ketelitian dengan melibatkan kajian komprehensif. Bagi Supiadin, isu terorisme ini terkait berbagai aspek, yakni aspek ekonomi, politik, dan aspek ideologi.

Dalam konteks ini, pemerintah mau pun DPR tak boleh gegabah memformulasikan sebuah kebijakan.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement