REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Djan Faridz menyikapi dengan santun terjadinya pertikaian di kantor DPC Medan, Sumatra Utara, Senin (18/1).
"Konflik semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab hanya akan menorehkan luka dalam pada sejarah negeri ini," kata Djan, Selasa (19/1).
Ia menganggap sahabat PPP yang terlibat perselisihan merupakan korban atas refleksi kelemahan hukum di negeri yang mengikrarkan jati diri sebagai negara hukum. Sebagai lembaga hukum tertinggi di Indonesia, putusan Mahkamah Agung (MA) atas kepengurusan PPP sudah selaiknya disikapi bijaksana para penyelenggara negara.
Putusan MA menyatakan bahwa kubu yang sah adalah kubu Muktamar Jakarta. Ini seperti yang tertuang pada putusan MA halaman 48 Nomor 11. Seharusnya, kata Djan, putusan yang dikeluarkan sejak tiga bulan lalu itu mampu menenangkan situasi politik saat ini.
"Keputusan tersebut sesungguhnya sudah sangat ampuh dan mumpuni untuk menjadi resolusi damai jika pemerintah memiliki itikad yang luhur, yaitu kedamaian dan ketenangan bagi setiap warga negaranya," jelasnya.
Menurutnya, bangsa ini harus belajar dari sejarah bagaimana Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) berdiri di Batavia tahun 1602 untuk memperkuat kedudukannya dalam perdagangan. Mereka juga memilih politik adu domba untuk dapat menguasai Nusantara.
Mereka, terang dia, menghasut raja-raja di daerah yang menyebabkan terjadinya perang saudara dan perebutan tahta kekuasaan. Sementara itu, VOC membantu pemberontakan dengan meminta imbalan dalam bentuk daerah monopoli perdagangan.
"Sekarang setelah Indonesia merdeka 70 tahun, Partai Persatuan Pembangunan juga mengalami perlakuan yang sama seperti saat zaman penjajahan VOC," ujarnya.