REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah meninjau ulang rencana hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual anak.
Pendekatan yang digunakan aparat penegak hukum terkait rencana hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual anak dinilai cenderung kaku dan konservatif.
Pelaku disamakan dengan koruptor atau maling sehingga pemutusan hukuman tidak selalu sejalan dengan tuntutan Undang-Undang Perlindungan Anak ataupun KUHP secara maksimal. Kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena pelaku mengganggap dirinya lebih kuat dan berkuasa penuh atas korban.
"Itu hakikatnya lebih kejam daripada koruptor. Berdasarkan alasan perbuatan saja, pertimbangan hukumannya sejatinya harus sudah memberatkan," ujar Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution, Senin (18/1).
Menurut dia, penegak hukum masih mengandalkan keberadaan bukti fisik seperti DNA pelaku yang masih melekat di tubuh korban, luka di alat kelamin maupun anggota tubuh lain.
Permasalahannya, para korban kekerasan sesksual (apalagi anak) baru melapor ke aparat beberapa hari, bahkan berbulan-bulan karena mereka harus meneguhkan mental dan batin terlebih dahulu.
Akibatnya dalam memproses perkara, aparat memakai pendekatan keraguan yang beralasan dan hanya membangun konsrtuksi kasus berdasarkan laporan para korban, tanpa disertai bukti forensik.
Maneger menyebut hal itu membuat jaksa dan hakim dalam pengambilan keputusan bersikap sangat berhati-hati dan tidak menjatuhkan hukuman maksimal. Keterangan dari korban berusia anak juga kerap diremehkan dan dipandang kurang valid. Kendala lainnya adalah faktor kultural.
Dalam keyakinan kultural masyarakat Indonesia juga sering menghambat para korban dan keluarganya untuk cepat melaporkan peristiwa kekerasan seksual terhadap anak dengan alasan dipandang sebagai aib keluarga.
Dia mengatakan daripada membuat peraturan baru berupa kebiri kimiawi, akan lebih baik jika pemerintah memperbaiki sistem pemidanaan pelaku kekerasan seksual. "Karena berpotensi merendahkan martabat manusia dan kurang etis," ujarnya.