Senin 18 Jan 2016 09:01 WIB

Merevisi Mindset Terorisme dalam Pusaran Dunia Anak

Red: M Akbar
SYAFBRANI
Foto: istimewa
SYAFBRANI

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syafbrani (Ayah Rumah Tangga, Pemerhati Pendidikan)

Seorang ayah sejatinya tidak hanya mencintai anaknya sendiri. Ia juga dituntut untuk mempunyai perhatian terhadap nasib anak di belahan dunia lainnya.

Namun, nasib berkata lain. Keberadaannya dalam sebuah sasaran ‘serangan’ yang menewaskan banyak orang itu telah mengubah cara pandang masyarakat dunia terhadap sosoknya, termasuk pandangan dari anaknya sendiri.

Padahal, keberadaannya di sana adalah untuk sebuah misi kemanusiaan. Bahkan, di tengah kepanikan orang yang ingin menyelamatkan diri masing-masing. Sang ayah ini masih menyempatkan diri untuk menyelamatkan para korban walau dia sendiri akhirnya menjadi korban.

Apakan daya, selain nyawanya hilang, malah tuduhan keterlibatan dirinya sebagai teroris dalam tragedi 9/11 itu yang kini beredar. Akibatnya, anaknya sendiri terseret dalam pusaran arus kebencian, termasuk juga istri dan apa pun yang berhubungan dengan identitas sang ayah itu.

Deskripsi di atas memang bukan diambil dari cerita nyata. Ini adalah sedikit kisah dari film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang  baru tayang akhir 2015.

Film insipiratif yang lahir dari novel besutan Rangga Almahendra-Hanum Rais ini secara langsung mengingatkan tentang tragedi bom Sarinah yang terjadi pada Kamis pilu, 14 Januari 2016  lalu. Insiden yang menyebabkan banyak orang sepakat menyatakan Jakarta berduka.

Melihat rangkaian film itu, penulis coba bertanya mengapa tuduhan mengalir begitu cepat? Dalam kisah ini adalah tuduhan kepada sang ayah. Andai sejatinya tuduhan itu untuk menjatuhkan reputasi sang ayah (dan apa pun yang berhubungan dengan indentitasnya), tidakkah terpikirkan efek berkepanjangan yang timbul, termasukl dalam pola pikir anaknya. Anak teroris?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement