Kamis 14 Jan 2016 06:29 WIB

Masa Depan BUMN Dipertaruhkan Di Tangan Hakim Udjianti

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Muhammad Subarkah
Bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya
Foto: Pelindo III
Bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Para pakar hukum meminta agar Hakim Praperadilan berlaku adil dalam memutuskan kasus RJ Lino terkait dugaan korupsi pengadaan QCC pada tiga pelabuhan milik Pelindo 2. Ini karena orang-orang terbaik akan takut menjabat sebagai CEO BUMN.

Permintaan itu terungkap dari sejumlah pakar hukum yang menghadiri promosi doktoral Teddy Anggoro di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hari ini. Beberapa pakar hukum itu antara lain mantan Komisioner Komisi Yudisial Ibrahim, Sekretaris Dirjen Adminintrasi Hukum Umum Kemenkumham Freddy Harris, Prof. Ade Maman Suherman pakar pengadaan dan dosen FHUI Teddy Anggoro.

Menurut Freddy Harris yang sehari-hari juga sebagai dosen FH-UI, bercermin pada kasus yang menimpa Pelindo II tentang adanya kerugian negara dalam pengadaan QCC tahun 2010, ketika negara memberikan kuasanya kepada korporasi maka semuanya harus clear.

"Artinya sebuah korporasi itu harus berjalan sebagai sebuah korporasi tidak ada intervensi karena menjadi tidak profesional. Jadi berdasarkan sistem hukum di manapun BUMN di negara manapun sama. Sehingga di Indonesia BUMN jangan kemudian ditafsirkan dengan cara yang lain-lain yang akibatnya terjadi penafsiran terlalu luas tanpa dasar hukum yang jelas," ucapnya Rabu (13/1).

Persoalan Pelindo, lanjut Freddy, apapun BUMN yang dipersoalkan dalam menjalankan kegiatannya adalah persoalan korporasi dimana tindakan korporasi  dilihat dalam untung rugi di akhir tahun. Bukan satu transaksi lalu bisa dibilang sebagai kerugian negara. Hal ini yang mesti diluruskan.

Menurut dia, jika tidak diluruskan, siapa yang mau memimpin BUMN. Ya paling orang-orang yang tidak punya konsep mengembangkan BUMN. Menjalankan BUMN secara bussines as ussual. Sementara orang yang baik, tidak minat bahkan takut. Karena semua orang terbaik jadi takut. Lebih baik di swasta. "Mudah-mudahan hakim bisa memutuskan secara adil,"  ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement