REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf menilai Indonesia memang memerlukan sebuah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan dalam sebuah TAP MPR. Pembentukan GBHN dirasa penting agar bisa membuat haluan negara lebih pasti dan tidak diubah-ubah oleh undang-undang.
"Jadi bahwa kita memang memerlukan sebuah GBHN yang nanti ditetapkan dalam sebuah TAP MPR. Itu penting untuk bisa membuat haluan negara lebih pasti dan tidak diubah-ubah oleh undang-undangnya," katanya kepada Republika.co.id, Selasa (12/1).
Menurutnya, saat ini Indonesia memiliki masalah dengan desain negara tentang negara hukum, negara demokrasi dan negara kesejahteraan. Padahal desain negara tersebut sebelumnya sudah dituangkan dalam Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional.
Namun dalam prakteknya, desain negara tersebut dikesampingkan dengan lahirnya Undang-Undang yang lain. Seperti Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional yang lahir belakangan dan ternyata tidak searah.
"Alasannya karena itu Undang-Undang sama dengan Undang-Undang lagi. Ketidaktertiban inilah yang menimbulkan ketidakkonsistenan dalam masalah pembangunan soal demokrasi, soal negara hukum soal negara kesejahteraan dan lain sebagainya," jelasnya.
Lebih jauh Asep menjelaskan, rencana menghidupkan kembali GBHM melalui melalui program pembangunan nasional semesta berencana tidak akan menimbulkan konsekuensi politik. Sebab, isi dari GBHN tersebut hanya menunjukan program nasional jangka panjang.
"Jadi lebih pada substansi bagaiman kita menjalankan arah kebijakan yang sesuai dengan arahan dari GBHN tadi. Jadi kecil implikasi politiknya," ujarnya.
Sebelumnya, Rapat Kerja Nasioanal I PDI Perjuangan menghasilkan keputusan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui program pembangunan nasional semesta berencana. Gagasan ini akan diimplementasikan dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara terbatas.
Revisi UUD 1945 yang diajukan PDI-P hanya pada pasal yang berkaitan dengan kembalinya kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menetapkan haluan negara. Sehingga, tidak akan ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan untuk merevisi pasal lain.