REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG -- Ratusan hektare tambak di Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, tercemar limbah. Akibatnya, udang windu yang dibudidaya petani terserang kematian mendadak.
Karya Zakaria (49), Ketua Kelompok Kiamat Sudah Dekat, Desa/Kecamatan Blanakan, mengatakan, kematian mendadak udang windu ini terjadi sejak 15 Desember 2015. Setiap hari ada saja, udang yang mati. Total udang yang mati di 100 hektare tambak mencapai 40 ton.
“Ini kasus kematian udang mendadak paling parah yang pernah kami alami,” ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (5/1).
Di wilayah Blanakan, terdapat 250 hektare tambak udang windu yang dimiliki tujuh kelompok pembudidaya. Suplai air tambak ini diperoleh dari Sungai Cibau yang merupakan anak Sungai Cilamaya. Diduga, air Sungai Cibau tercemar limbah industri yang dibuang ke Sungai Cilamaya.
Apalagi, di bagian hulu Sungai Cilamaya, tepatnya dari perbatasan Subang-Purwakarta serta Karawang, banyak berdiri pabrik-pabrik yang diduga membuang limbahnya ke sungai ini. Sehingga, air yang ke hilirnya juga ikut tercemar.
Tak hanya tercemar limbah pabrik, Sungai Cibau juga tercemar limbah pertanian. Karena, tambak udang dan areal pertanian masih satu hamparan dan memiliki sumber air yang sama. Petani tidak dapat menyelamatkan udang-udang tersebut, karena tidak memiliki sumber air yang lebih bersih.
Karya menuturkan, udang yang mati mendadak itu belum cukup umur untuk dipanen. Pasalnya, usia tanamnya baru dua bulan. Padahal, masa panen masih 1,5 bulan lagi. Akibat kejadian ini, pembudidaya harus menanggung kerugian yang cukup besar.
Ketua KUD Mandiri Mina Karya Mukti Blanakan Sobandi mengatakan, udang dijual dengan harga Rp 200 ribu per kg. Dengan kematian 40 ton udang, petambak merugi hingga Rp 8 miliar.