REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Nurhayani Saragih mengatakan, pencetakan guru itu tidak hanya dikawal dari sisi prosesnya saja.
Namun pada segi input dan standar ketika menjadi guru juga harus diawasi.
Nurhayani berpendapat bahwa selama ini sebagian besar Perguruan Tinggi (PT) Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum memiliki standar khusus. Dengan kata lain tidak ada ujian tambahan bagi para calon mahasiswa LPTK.
Nurhayani mengaku mengetahui bahwa motivasi keprofesionalan seseorang bisa tumbuh seiring dengan proses pembelajaran.
"Tapi itu hanya sebagian kecil saja," kata Nur dalam diskusi tentang LPTK dan Harapan Mencetak Guru Berkualitas di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jakarta, Selasa (5/1).
Beberapa di antara mereka bahkan ada yang berkeinginan untuk beralih ke profesi lain. Dalam hal ini, tambah dia, profesi guru dijadikan sebagai alternatif terakhir.
Temuan-temuan ini diungkapkan Nurhayani berdasarkan penelitian terhadap empat LPTK di sejumlah PT. Dari hasil temuan ini dinyatakan bahwa mereka merekomendasikan kebijakan kepada pemerintah untuk memperbaiki proses input.
Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan seleksi ketat dan menentukan standar khusus (terkait kompetensi calon guru) bagi calon mahasiswa LPTK.
Berkaitan dengan pentingnya ujian tambahan ini, Nurhayani menegaskan, hal ini memang sangat perlu diterapkan. Pasalnya, lanjut dia, menjadi guru berarti memerlukan teknis khusus yang tidak bisa disamakan dalam jurusan lain. Oleh sebab itu, proses perekrutannya pun harus dibenahi dengan sebaik mungkin.
Nurhayani mencontohkan kondisi guru di wilayah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di tempat ini, guru-guru harus bisa mendisiplinkan anak karena tabiat masyarakat di sana keras.
"Kalau anaknya dibentak dikit, orang tuanya justru tidak terima," kata dia. Oleh sebab itu, banyak guru yang pasrah setelah mencoba usahanya di wilayah tersebut.