REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) menjadi surga bagi pengusaha pertambangan guna meraup keuntungan tinggi. Pasalnya sepanjang 2015, jumlah lokasi pertambangan di Sulsel bertambah sebanyak 122 lokasi. Angka ini meningkat 54 persen dari jumlah tempat pertambangan di 2014.
Sayangnya, peningkatan jumlah lokasi produksi tambang ini justru menimbulkan kerugian bagi Provinsi Sulsel. Hal tersebut karena 54 persen peningkatan lokasi tambang ini belum berizin alias tambang ilegal. "Jumlah tambang liar meningkat dari 226 pada tahun 2014, menjadi 348 di tahun 2015," ujar Sekretaris Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Syamsul Bachri, Selasa (5/1).
Syamsul mengatakan, jumlah tambang liar terbesar berada di Kabupaten Bone yang jumlahnya mencapai 60 tambang. Lalu 40 tambang di Kabupaten Bantaeng dan sisanya tersebar di 22 kabupaten/kota lain seperti Sinjai, Gowa dan Jeneponto.
Kebanyakan penambangan dilakukan pada golongan C, seperti batu gunung, batu kali, sirtu, pasir, tanah urug dan tanah liat. Dimana lahan yang digunakan mencapai 266,205 hektar dan yang terhitung oleh Dinas ESDM mencapai 95 hektar.
Menurut Syamsul, salah satu kendala dalam menertibkan tambang liar ini adalah kewenangan pengawasan yang kini berada di tangan pemerintah pusat, berdasarkan Undang-Undang 23 tahun 2014 dimana kewenangan lembaga pengawas akan ditarik ke pemerintah pusat. Sehingga peraturan ini mengurangi kekuatan dari pemerintah daerah dalam mengawasi izin pertambangan.
Meski demikian, Syamsul mengatakan bahwa pihaknya telah berinisiatif membentuk tim pengawasan terpadu bersama dengan SKPD di kabupaten/kota. "Targetnya, kita bisa mengurangi jumlah tambang liar hingga 60 persen tahun ini," papar Syamsul.