REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bali didaulat sebagai pulau terindah di dunia setelah Galapagos. Pakar Pariwisata Sapta Nirwandar menilai dengan terpilihnya Bali sebagai pulau terbaik kedua di dunia harus diiringi dengan pembenahan, terutama dalam sistem transportasi.
Sapta mengatakan, prestasi tersebut bukan hal yang baru bagi Bali. "Sebelum ini Bali beberapa kali terpilih, kalau tidak di posisi satu, ya dua," ujar Wakil Menteri pariwisata dan Ekonomi Kreatif di zaman kepemimpinan Presiden SBY itu dalam keterangannya, Senin (4/1).
Ia menduga, kalau saat ini Bali berada di posisi kedua, mungkin hal tersebut disebabkan beberapa masalah laten yang kini makin terasa menjadi gangguan, yakni kemacetan dan kebersihan.
Menurut dia, tantangan ke depan bagi pemangku kepentingan pariwisata di Bali adalah membenahi sistem transportasi, menyangkut kendaraan dan infrastruktur yang ada. Selain itu, kata dia, penting pula adanya pengaturan tata ruang dan peruntukan wilayah atau zonasi.
Sapta menilai, kian masifnya pembangunan telah membuat gedung-gedung perkantoran, pemukiman, dan area bisnis bermunculan dan itu menggangu kelangsungan berbagai destinasi wisata di Bali.
"Pemerintah dan warga Bali harus mulai berpikir untuk menyebar denyut pariwisata ke Utara, tak hanya Selatan sentris seperti saat ini," ungkap Sapta. Ia mencontohkan Maladewa, yang memusatkan pemerintahan dan bisnis di satu pulau, sementara pulau-pulau lainnya semata untuk wisata. "Kita bisa melakukan modifikasi," tutur dia.
Hal senada juga diungkapkan pegiat bisnis pariwisata di Bali, Rainier H Daulay. Rainier menilai kemacetan dan tidak terarahnya pembangunan di Bali akan menjadi persoalan besar dunia pariwisata di Pulau Dewata itu di masa depan.
"Saya sudah melihatnya jauh-jauh hari, sebelum kemacetan menjadi semacam rutinitas seperti saat ini," cetusnya. Ia mengaku, sekitar 12 tahun lalu telah mengusulkan kepada Pemprov Bali untuk mengadakan sistem transportasi massal yang nyaman dan aman.
"Saya saat itu mengusulkan agar dibikin jaringan trem. Saya kira meski sudah melewati satu dekade, usul itu belum usang," kata dia. Pebisnis wisata ini juga menilai juga adanya pemusatan dunia pariwisata di Bali yang terlalu berat ke Selatan. Sementara berbagai potensi wisata di belahan Utara Bali, terkesan terpinggirkan dan tidak berkembang.
Menurut dia, hal itulah yang kini membuat bisnis perhotelan di Bali bagian selatan tak jarang terpeleset kepada persaingan tidak sehat. "Jadi, seharusnya jangan ada lagi pembangunan hotel di Bali, kecuali di Utara," kata dia. Pasalnya, tidak hanya hal itu dipastikan bisa mengganggu berbagai destinasi wisata yang ada dan menambah kemacetan, tetapi juga membuat wilayah Utara Bali tetap tak berkembang dan terpinggirkan.
Ia melihat, pembangunan hotel dan area permukiman di Bali potensial menggusur persawahan yang ada. Sementara di Bali, sawah-sawah pun justru menjadi komoditas wisata tersendiri. "Lihat saja, sistem terasering di Bali atau Subak, itu keindahan yang semakin lama menjadi kian khas," papar dia.