Rabu 30 Dec 2015 20:36 WIB

Kedaulatan Pangan Masih Setengah Hati

Rep: sapto andika candra/ Red: Taufik Rachman
  Pekerja melaukan bongkar muat karung berisi beras impor asal Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/11).  (Republika/Agung Supriyanto)
Foto:
Pekerja melaukan bongkar muat karung berisi beras impor asal Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/11). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID,Kedaulatan Pangan Dinilai Masih Setengah Hati

JAKARTA - Target pemerintahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan kedaulatan pangan dinilai belum bisa terwujud sepenuhnya. Malahan, Jokowi masih dinilai setengah hati dalam menggapai target ini.

Guru Besar Pertanian dari IPB Dwi Andreas menilai, strategi, kebijakan, dan program masih mengulang paradigma lama yakni ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan. Dwi menilai, selama ini pemerintah masih berkutat dalam urusan menggenjot produksi pangan dengan menggunakan sarana produksi pabrikan dan pembangunan infrastuktur. Pemerintah, lanjutnya, dianggap belum memberikan perhatian yang selayaknya untuk para produsen pangan skala kecil.

Dwi menambahkan, jantung kedaulatan pangan adalah para produsen pangan lokal skala kecil. Sayangnya, lanjut Dwi, hal ini justru ditinggalkan dalam program dan implementasi pemerintah. Alih-alih membangun 1.000 desa daulat benih, pemerintah malah bersemangat menggunakan benih transgenik milik perusahaan multinasional yang mahal dan menciptakan ketergantungan baru.

Senada dengan Dwi, Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan bahaw ke depan, krisis pangan akan terus terjadi bila tidak ada upaya perubahan yang mendasar. Ia menilai upaya menggenjot produksi yang bertumpu pada pertanian industri terbukti telah gagal membangun kedaulatan pangan.

"BPS mencatat total nilai impor 8 komoditas pangan hingga Agustus saja, mencapai 3,5 miliar dolar atau sekitar 51 triliun rupiah, " kata Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator ADS.

Tejo menambahkan, kegagalan menerjemahkan Kedaulatan Pangan terlihat sejak awal terlihat, saat Renstra Kementrian Pertanian yang masih terus bertumpu pada swasembada pangan, yang erat dengan paradigma Ketahanan Pangan.

Baik Tejo maupun Dwi pada akhirnya sepakat bahwa pertanian agroekologi berbasiskan pada keanekaragaman pangan dan pengolahan yang bijak, akhirnya akan dapat menyediakan berbagai pangan bagi kebutuhan konsumen yang kini kian seragam pangannya dan kian tergantung pada industri pangan.

Tak hanya itu, terkait dengan redistribusi tanah 9 juta ha untuk petani hingga saat ini belum juga terjadi. Deputi Direktur Sawit Watch Achmad Surambo mengungkapkan, walau sesungguhnya redistribusi tanah bukanlah reforma agraria yang sesungguhnya, inti reforma agraria adalah membereskan ketimpangan kepemilikan lahan dan ada penurunan konflik.

"Tetapi ini, konflik malah naik, data kami menunjukkan 776 konflik antara komunitas dan perusahaan perkebunan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya," kata Achmad.

Ketidakjelasan yang sama juga terjadi pada program pencetakan sawah 1 juta hektar.  "Ini dimana saja, dan untuk siapa sawah itu nantinya?" kata Achmad lagi.

Sementara berdasarkan data BPS kemampuan tiap tahun mencetak sawah hanya sekitar 50.000 ha, jauh dibawah target. Dwi menambahkan, Badan Pangan Nasional yang menjadi mandat UU Pangan seharusnya sudah terbentuk malah masih dalam proses dan mengarah pada Bulog. "Apakah cukup? Dan bagaimana dengan partisipasi masyarakat di dalamnya," katanya.

Setahun ini, lanjut Dwi, pemerintahan Jokowi-JK memang masih jauh dari upaya mewujudkan Kedaulatan Pangan. Sudah saatnya tahun kedua dan selanjutnya, melakukan langkah berani untuk benar-benar menerapkan Kedaulatan Pangan. Kedaulatan Pangan bukan hanya slogan, tetapi harus diimplementasikan dengan sepenuh hati dan dilandasi keberpihakan kepada produsen pangan skala kecil kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement