REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal ini menyusul kembali terjadinya salah tangkap kepada dua orang yang dituduh teroris.
Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution mengatakan negara patut mempertimbangkan masukan publik dan tokoh masyarakat, antara lain seperti pernah disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, Prof Din Syamsuddin yang menyarankan agar BNPT dan Densus 88 itu dievaluasi total.
"Negara melalui Densus 88 wajib hukumnya hadir untuk memastikan bahwa peristiwa yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang (guarantees of nonrecurrence). Tindakan salah tangkap ini adalah syiar ketakutan buat publik," ujarnya dalam siaran pers, Rabu (30/12).
Selain itu, negara harus menjelaskan secara transparan ke publik hasil kerja BNPT dan Densus 88 berkaitan dengan penembakan terhadap sekian banyak orang yang diduga teroris, korban salah tangkap orang yang diduga teroris, pendanaan mereka.
Mereka juga harus bisa menjelaskan kepada publik bahwa sama sekali tidak ada keterlibatan pihak asing baik personel maupun pendanaan dalam operasi mereka.
Maneger mengatakan Densus 88 kembali melakukan salah tangkap kepada dua orang yang dituduh teroris. Bahkan kedua orang ini pun sempat mengalami kekerasan oleh Densus 88 pada Selasa (29/12) di Solo, Jawa Tengah. Karena tak punya cukup bukti kemudian GL serta NS akhirnya dibolehkan untuk pulang.
"Anehnya Densus pun tak meminta maaf kedua korban tersebut, padahal tangan serta wajah GL tampak memar karena terjatuh ke aspal," kata Maneger.
Menurut dia, petugas Polsek Laweyan membenarkan keduanya ditangkap oleh Densus 88, namun sekali lagi karena tak memiliki cukup bukti maka keduanya dilepaskan.