Selasa 29 Dec 2015 21:54 WIB

APHI Khawatirkan Masa Depan Bisnis HTI di Indonesia

Kebakaran Hutan (ilustrasi)
Foto: Rony Muharrman/Antara
Kebakaran Hutan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG  -- Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia mengharapkan majelis hakim dapat memutuskan seadil-adilkan kasus gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke PT Bumi Mekar Hijau senilai Rp7,8 triliun yang akan memasuki babak akhir pada Rabu (30/12).

Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto yang dimintai tanggapan dari Palembang, Selasa (29/12), mengatakan keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang diketuai Pharlas Nababan itu sangat menentukan untuk masa depan bisnis hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia karena terkait jaminan atas investasi yang sudah ditanamkan.

"Kasus ini mendapat perhatian cukup luas di masyarakat, baik di dalam negeri, maupun luar negeri. Dengan sorotan yang besar ini, APHI berharap majelis hakim dapat bertindak seadil-adilnya dengan mengedepankan fakta dan bukti di persidangan," kata Purwadi.

Ia mengatakan, perusahaan sebagai pihak yang digugat cenderung mendapatkan sentimen negatif karena dianggap membakar hutan untuk membuka lahan.

Hal ini sangat disayangkan, karena sejatinya PT Bumi Mekar Hijau (PT BMH) yang memiliki areal seluas 250 ribu hektare di pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumsel ini telah mengubah areal terdegradasi menjadi hamparan hutan yang hijau.

Perlu diketahui, saat menerima izin mengelola HTI tahun 2001, lahan tersebut mengalami kerusakan parah setelah terbakar hebat hutan dan lahan di Sumatra pada tahun 1997.

"Saat itu, tidak ada investor yang mau karena dibutuhkan dana yang besar untuk memulihkannya. Tapi BMH mau, dan berhasil membuat areal rusak itu menjadi hamparan tanaman hijau," kata dia.

Lantas, dengan semangat untuk membangun hutan tanaman industri berkelanjutan dengan menginvestasikan dana hingga triulan rupiah itu, Purwadi menyatakan, menjadi sesuatu yang tidak mungkin jika perusahaan tersebut membakar lahan untuk kepentingan pembersihan. Apalagi lahan yang dianggap terbakar itu, merupakan lahan akasia siap panen.

Selain itu, pada 2014, melalui proses hukum yang dijalankan PT BMH diketahui bahwa kebakaran hutan ini sudah terbukti akibat perambahan dan illegal loging (pencurian kayu) oleh oknum warga.

Oknum warga itu, Kar (55) dan Al (39) masuk ke areal konsesi BMH untuk mencuri kayu, mengingat dari 250 hektare yang dikelola, tidak semuanya dijadikan HTI tapi ada yang dibiarkan untuk menjadi hutan alam.

Pemilik kemudian memproses hukum dan telah diputuskan bersalah di Pengadilan Negeri Kayuagung Ogan Komering Ilir. Dua orang ini dianggap bersalah karena memasuki kawasan hutan tanpa izin, membawa alat, dan melakukan pembakaran.

"Untuk memudahkan mengambil kayu curian, oknum ini membakar lahan yang ditumbuhi semak pada musim kemarau. Dan pada suatu keadaan kebakaran itu merambat ke areal konsesi, dan ini sudah dibuktikan di pengadilan," kata dia.

APHI berharap majelis hakim juga mempertimbangkan fakta pidana itu, meski gugatan KLHH secara perdata yakni perbuatan melawan hukum.

Terkait, dengan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengarah pada kelalaian perusahaan dalam menjaga lahan, Purwadi mengharapkan majelis hakim juga mempertimbangkan upaya yang sudah dilakukan perusahaan dalam mencegah resiko kebakaran.

"Untuk menuduh perusahaan lalai, harus dilihat dulu prosesnya, berapa alat yang disediakan, berapa anggota regu pemadam kebakaran, upaya yang sudah dilakukan. Kalau kemudian terbakar, dan tidak punya alat-alat apa-apa, barulah disebut lalai," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement