REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan kejahatan luar biasa. Namun, pembuktian di tingkat korporasi masih sulit dilakukan.
"Dalam praktiknya, pengurus korporasi menggunakan posisi rentan para pegawai untuk melakukan demonstrasi. Bahkan bisa mempengaruhi publik dengan alasan jika harta tersebut disita maka bisa berpengaruh pada ribuan karyawannya," kata Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung RI Widyo Pramono dalam Seminar Nasional 'Tanggung Jawab Korporasi dalam TPPU' di Universitas Pancasila, Jakarta, Selasa (22/12).
Upaya penyidikan dalam hal TPPU korporasi pun masih minim dilakukan. Sehingga arah penyidikan umumnya masih ditujukan kepada individu korporasi. "Dapat kita lihat korporasi yang dipertanggungjawabkan secara pidana masih jarang terjadi," ungkapnya.
Ia menyarankan agar para penegak hukum memiliki kesamaan persepsi terhadap TPPU di korporasi. Sehingga ketika berkas diajukan tidak ada lagi pihak-pihak yang jalan sendiri-sendiri.
"Jadi untuk menindak korporasi ada persamaan persepsi. Kalau jaksa sudah bertindak tapi hakim tidak sejalan itu juga susah," katanya.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transasksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf menambahkan, tindak pidana yang dilakukan korporasi sulit dideteksi. Karena belum ada contoh atau model berkas penyidikan yang menjadikan korporasi sebagai pelaku delik atau tersangka dalam perkara TPPU.
"Untuk itu memang harus ada satu persepsi yang sama terkait hal itu," kata Yusuf yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP).
Dekan FHUP Ade Saptomo menambahkan, kalangan akademisi juga harus berpartisipasi untuk mencegah TPPU di korporasi. Sehingga bisa dihasilkan satu rumusan yang sama dan bisa melakukan tindakan yang seirama.
"Kita cari solusi atas kekosongan itu. Bisa dirumuskan bersama di forum ini sehingga tindak kejahatan tingkat korporasi bisa terjangkau," katanya.