Jumat 18 Dec 2015 05:41 WIB

Antara Hitler dan Setya Novanto

Abdullah Sammy
Abdullah Sammy

Oleh: Abdullah Sammy

Redaktur Republika

Sebelum masuk ke tema seputar judul di atas, saya ingin membahas sebuah kisah yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1944. Kala itu, seorang pria bernama William Patrick Hitler bergabung dengan Angkatan Laut Amerika untuk memperkuat barisan sekutu di Perang Dunia II. Nama belakang William bukan sekadar menunjukkan kemiripan dengan sang musuh utama tentara sekutu saat itu, Adolf Hitler.

William tak lain adalah keponakan dari pemimpin Jerman, Adolf Hitler. Tapi garis hubungan darah tak lantas membuatnya membabi buta mendukung sang paman. Sebaliknya, William mengambil garis tegas sebagai musuh Adolf Hitler yang tak lain adalah adik ayahnya.

Penggalan kisah tentang perbedaan garis politik keponakan dan paman di Perang Dunia II ini sekilas tampak cukup langka. Utamanya bila dibandingkan dengan situasi politik Indonesia.

Sebab politik di Indonesia masih lekat dengan hubungan biologis, pertemanan, serta kelompok. Garis hubungan yang sifatnya personal itu kadang menembus ukuran benar dan salah. Selama dia adalah teman satu kubu, dia selalu benar. Nilai kebenaran pun jadi hal yang abu-abu.

Faktanya tersaji dalam sejumlah kasus yang sedang hangat terjadi akhir-akhir ini. Saya ingin mengambil contoh kasus Setya Novanto yang bergulir di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Terlihat jelas bahwa sang ketua DPR ini mendapat dukungan maksimal dari kubu politiknya, seperti Golkar dan Gerindra.

Ibarat bermain catur, sejumlah strategi pertahanan diterapkan. Mulai dari mengkritisi saksi, bukti, hingga memainkan opsi sanksi. Tapi palu telah diketuk pada Rabu (16/12) lalu. Setya memutuskan mundur dari ketua DPR. Segala kisah seputar kasus Setya Novanto yang bermula dari laporan bos Freeport Maroef Sjamsoedin soal usaha meminta saham, mencapi titik akhir. Paling tidak untuk sementara waktu.

Di sisi lain, kubu yang kontra terhadap Setya tak jauh lebih baik. Unsur personal pun melatar-belakangi sikap mereka.

Pada sisi ini ada kemiripan kekuatan yang anti-Setya Novanto dengan William Patrick Hitler. William memerangi pamannya bukan dilatarbelakangi alasan membela nilai kebenaran semata. Semua ini tak terlepas dendam pribadinya pada Adolf Hitler.

William yang lahir di Liverpool Inggris, sempat menulis artikel pada majalah Look bertajuk, Why I Hate My Uncle. Dalam artikel itu, William mengungkapkan dirinya sempat bekerja sebagai seorang sales perusahaan otomotif Opel di Berlin.

Tak puas dengan pekerjaannya, William lantas mengirimkan surat kepada Adolf yang berisi permohonan agar sang paman menolong memperbaiki nasibnya. Layaknya seorang politikus, William tak sekadar memohon melainkan sekaligus melepas ancaman pada sang paman.

Jika permintaannya agar diberi pekerjaan yang layak tak dipenuhi, William mengancam akan buka suara ke media soal masalah keluarga Hitler. Ibarat bermain catur, Adolf ganti memberi tawaran kepada keponakannya.

Hitler memberi syarat agar William menukar kewarganegaraan Inggrisnya dengan Jerman bila ingin mendapat pekerjaan yang lebih layak. Tawaran itu ditepis William karena takut akan 'dikerjai' sang paman yang jadi penguasa Jerman. Penolakan ini disampaikan William seraya mengancam akan buka suara kepada publik soal darah Yahudi yang mengalir di keluarga Hitler.

Berangkat dari kisah itu, William akhirnya memutuskan menyeberang menjadi musuh sang paman dan akhirnya ikut dalam kemenangan pasukan sekutu di Perang Dunia II.

Seperti kisah William, sulit untuk menilai yang diperjuangkan PDIP, Nasdem, atau koalisinya di DPR semata-mata dilandasi usaha membela nilai kebenaran.

Sebab pada dasarnya yang terkena kasus adalah persona di luar kubu mereka. Sebaliknya jika yang terkena kasus adalah sesama kader, seperti dalam kasus Bansos di Sumatra Utara, jangan harap kita lihat aksi menggebu-gebu layaknya yang dilakukan Akbar Faizal di ruang MKD.

Sebab selain konsep sesama teman selalu benar, ada juga konsep setiap musuh adalah salah. Nilai kebenaran dan kesalahan yang sifatnya personal inilah kerap dimainkan kekuatan politik di DPR.

Memang, kita perlu aprsesiasi usaha untuk mendesak Setya mundur. Tapi, jadi omong kosong jika kita menilai keputusan ini adalah produk idealisme partai politik.

Sebab pada kenyataannya kekuatan yang kontra dan pro Setya Novanto memegang nilai yang sama. Nilai yang ditentukan oleh kepentingan dan di posisi mana kelompok mereka.

Celakanya dua kubu yang bertarung itu menggunakan kekuatan medianya. Jadilah media terseret pula dalam arus pertarungan.

Jadi jangan heran jika melihat ada media yang menggebu memberitakan soal Setya Novanto, tapi melempem ketika membahas kasus Patrice Rio Capella. Pun sebaliknya.

Jadi ke depannya siap-siap untuk melihat dua kekuatan ini berganti peran. Ini terutama dalam Pansus Pelindo yang sedang diputar di DPR. Pada dasarnya semua siap membela kawan, semua siap menyerang lawan.

Kita sebagai publik tak perlu berharap banyak atas segala pertarungan yang dipertontonkan di DPR ini. Sebab inti dari pertarungan ini senada dengan filosofi politik yang diusung Nicola Machiavelli. "Jangan pernah mencoba untuk menang dengan kekuatan selagi bisa dimenangkan oleh penipuan." (Machiavelli dalam bukunya, Il Principe).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement