REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Sulawesi Selatan (Sulsel) mencatat terdapat 370 kasus kekerasan terhadap perempuan hingga Oktober 2015.
Lebih dari separuh jumlah kasus tersebut terjadi di dalam keluarga yang seharusnya justru menjadi lingkungan yang melindungi kaum perempuan. "Keluarga yang seharusnya menjadi lingkungan yang paling aman, tetapi banyak kasus kekerasan malah terjadi dalam keluarga," kata Ketua LBH APIK Makassar Rosmiati Sain, Kamis (17/12).
Rosmiati mengatakan bahwa angka ini menurun dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 615 kasus kekerasan. Meski demikian, Rosmiati belum bisa memastikan kekerasan ini benar-benar menurun atau tidak. Karena ditakutkan minimnya angka ini disebabkan perempuan yang menerima kekerasan enggan melapor. "Angka ini tidak lantas menggambarkan bahwa secara rill kasus kekerasan menurun," ujarnya.
Keengganan ini, menurut Rosmiati, dapat terjadi apabila masyarakat yang melaporkan kasus kekerasan tidak mendapatkan penanganan yang semestinya dari penegak hukum. Hal ini akan membuat masyarakat berpikir tidak ada gunanya melaporkan hal tersebut.
Lebih lanjut, Rosmiati memeparkan, penyadaran tentang pencegahan tindakan kekerasan harus dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, lalu ke masyarakat. Kita harus belajar Bagaimana di dalam keluarga diciptakan suasana yang kondusif melalui saling pengertian, dan pembagian peran yang adil.
Sementara di lingkungan masyarakat, penting untuk membangun kepedulian terhadap kasus-kasus kekerasan yang terjadi di sekitar mereka. "Kalau melihat kasus kekerasan, jangan didiamkan saja, tetapi dilaporkan," katanya.
Dalam momentum peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember mendatang, dia mendorong lahirnya Undang-undang Kekerasan Seksual. "Ini yang kita harapkan didorong dalam prolegnas 2016," pungkas Rosmiati.