Kamis 17 Dec 2015 21:17 WIB

Praktisi: Kocok Ulang Pimpinan DPR Belum Buntu

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dan Taufik Kurniawan memimpin Sidang Paripurna ke-14 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (17/12).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dan Taufik Kurniawan memimpin Sidang Paripurna ke-14 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (17/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi hukum, Robikin Emhas menilai pengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR, bisa saja dilakukan melakui mekanisme kocok ulang pimpinan DPR.

"Sebagai bagian dari political game, 'legislative review', adalah pintu legal yang dapat diretas agar kocok ulang Pimpinan DPR dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan revisi terbatas UU MD3 dan Peraturan DPR 1/2014 khusus mengenai Tata Cara Pemilihan, Pemberhentian dan Penggantian Pimpinan DPR RI," katanya di Jakarta, Kamis (17/12).

Ia mengakui bahwa dari beberapa ketentuan, wacana untuk melakukan kocok ulang Pimpinan DPR pasca pengunduran diri Setya Novanto sebagai Pimpinan DPR tidak ada rujukan hukumnya. Pasal 84 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3) berbunyi: "Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR".

Sedangkan Pasal 27 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib (Peraturan DPR 1/2014) berbunyi: "Pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan yang ditetapkan secara paket bersifat tetap selama 5 (lima) tahun dalam rapat paripurna DPR pada masa awal keanggotaan DPR.

Berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (1) UU MD3 juncto Pasal 27 ayat (1) Peraturan DPR 1/2014 tersebut, maka pimpinan DPR bersifat tetap selama lima tahun. Sedangkan mengenai pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR, Pasal 87 ayat (1) UU MD3 menyebutkan: "Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c diberhentikan.

Lebih lanjut, Pasal 87 ayat (4) UU MD3 menyebutkan: "Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama".

Sedangkan Pasal 34 Peraturan DPR 1/2014 berbunyi: "Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan".

Selanjutnya Pasal 39 Peraturan DPR 1/2014 berbunyi: "Tata cara pemberhentian pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b:

a. pimpinan DPR yang mengundurkan diri, mengajukan pengunduran diri secara tertulis di atas kertas yang bermaterai kepada pimpinan DPR;

b. pimpinan DPR menyampaikan surat pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan permintaan pengganti pimpinan DPR yang mengundurkan diri kepada partai politik yang bersangkutan setelah terlebih dahulu dibicarakan dalam rapat pimpinan DPR;

c. paling lama 5 (lima) hari sejak diterimanya surat sebagaimana dimaksud dalam huruf b, partai politik menyampaikan keputusan kepada pimpinan DPR;

d. apabila pimpinan partai politik tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c, pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam huruf a disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden;

e. paling lama tujuh hari sejak diterimanya surat pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pimpinan DPR memberitahukan pemberhentian pimpinan DPR yang mengundurkan diri tersebut kepada Presiden.

Robikin mengungkapkan terjadinya sengketa (dualisme) kepengurusan Partai Golkar yang kini sedang dalam pemeriksaan Mahkamah Agung bukanlah alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum untuk melakukan kocok ulang pimpinan DPR.

"Apalagi terhadap dualisme kepengurusan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah menjatuhkan putusan provisi yang antara lain menyatakan bahwa sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, DPP Partai Golkar yang sah adalah DPP Golkar hasil Munas Riau tahun 2009," kata pengacara konstitusi ini.

Namun, lanjut Robikin, tidak berarti wacana kocok ulang Pimpinan DPR menemui jalan buntu, apalagi jika menilik konfigurasi kekuatan politik di parlemen pasca bergabungnya PAN sebagai partai pendukung pemerintah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement