REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jalannya rangkaian sidang etik di Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI terkait skandal pencatutan nama Jokowi-JK sampai pada pemanggilan saksi-saksi. Skandal ini berhulu pada adanya upaya membicarakan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Bila sebelumnya pada Rabu (2/12) Menteri ESDM Sudirman Said memenuhi panggilan MKD sebagai pengadu, kini Menteri Koordinator Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan datang ke hadapan majelis untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
Dari keterangan Luhut, diketahui kasak-kusuk upaya negosisasi Freeport sudah dimulai sejak dirinya masih menjabat sebagai Kepala Staf Kantor Kepresidenan.
Menanggapi nuansa demikian, kata Luhut, dirinya lantas berinisiatif melakukan sejumlah kajian dan telah memberikan sejumlah memo tertulis kepada Presiden Joko Widodo.
Luhut juga mengakui, dinamika di intenal Kabinet Kerja cukup menguat lantaran keinginan Freeport untuk melanjutkan operasionalnya, yang akan berakhir pada 2021 mendatang.
"Pada saat itu, kewajiban saya untuk memberikan kajian dan rekomendasi kepada Presiden, baik diminta maupun tidak, terkait dengan isu-isu strategis, termasuk soal Freeport. Saya sebagai seorang perwira, sudah menjadi dasar. Apa pun keputusannya, ya kita akan loyal melaksanakannya," ucap Luhut Binsar Pandjaitan menjawab pertanyaan majelis MKD, Senin (14/12).
Luhut menuturkan, Presiden Joko Widodo pun telah menginstruksikan agar pembicaraan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) harus patuh pada amanat undang-undang, khususnya UU Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba) Nomor 4/2009.
Berdasarkan beleid itu pula, pembicaraan soal nasib korporasi ini di Papua hanya bisa dilakukan dua tahun menjelang habisnya tenggat kontrak alias tahun 2019. Luhut menegaskan, Presiden Jokowi pun bersikap sesuai dengan amanat UU tersebut, kendati tidak lantas menjadi antiasing sama sekali.
"Sampai detik ini, Bapak Presiden masih konsisten bahwa pembicaraan perpanjangan Freeport hanya bisa dilakukan paling cepat tahun 2019 dengan lima syarat utama, yaitu pembangunan Papua, penggunaan kandungan lokal, divestasi saham, peningkatan royalti, serta pembangunan industri pengolahan," ujar dia.
Dalam catatan Republika, pada 2 Desember lalu, Menteri ESDM Sudirman Said mengakui pihaknya telah membuat surat tertanggal 7 Oktober 2015 kepada bos Freeport McMoran, Moffett. Isi surat yang berkop Kementerian ESDM itu berusaha meyakinkan Freeport terkait kelanjutan investasinya di Papua setelah kontrak habis pada 2021.
Bila dalam pernyataan Luhut hari ni (14/12) dikatakan Presiden berkomitmen tak ada pembicaraan terkait nasib PTFI sebelum 2019, pernyataan Menteri ESDM justru menegaskan sebaliknya. Yakni, bahwa surat tersebut dibuat setelah berkonsultasi dengan Presiden.
"Dan apabila ada yang mengatakan bahwa saya menulis surat sendiri tanpa sepengetahuan Presiden, maka orang itu tidak tahu. Karena bahkan saya membahas drafnya dengan Presiden. Dan Presiden mengatakan, kalau begini, sudah cukup bagi Freeport ya diteruskan saja," kata Sudirman Said, Rabu (2/12) silam di sidang terbuka MKD.
Namun, Luhut membantah bila keterangannya memberi sinyal adanya perpecahan di intenal Kabinet Kerja terkait isu Freeport.
"Yang Mulia, saya koreksi, bukan tidak sinkronisasi. Bisa saja saran dari staf itu (Kantor Staf Kepresidenan) berbeda dari yang di lapangan. Itu pengalaman saya berkali-kali terjadi. Dan pada akhirnya keputusan di tangan Presiden. Jadi tidak berbeda-beda dalam konteks (kabinet) terpecah," tegasnya.