REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga hari lalu, Kamis (10/12), lelaki itu masih bisa menggeramkan kemarahannya ke segenap penjuru ruangan kala mengisi kuliah umum di Universitas Indonesia. Ia tampil eksentrik dengan kaos hitam bertulis NGEEE!!! yang ia desain sendiri.
Hari ini, Ahad, (13/12), kemarahannya telah lelap bersama tidur panjang. Benedict Richard O'Gorman Anderson atau Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, meninggal dunia di Hotel Royal Orchid, Kota Batu, Malang, Jawa Timur.
Ben Anderson datang ke Indonesia untuk mengisi kuliah umum bertema 'Anarkisme dan Nasionalisme' di Universitas Indonesia, Depok, Kamis, (10/12). Kegiatan itu diselenggarakan oleh penerbit Marjin Kiri, Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan Majalah Loka.
Dalam kuliah umum tersebut, Ben menguraikan sejarah anarkisme di dunia sejak masa Revolusi Perancis. Ia menjelaskan, kegelisahannya tentang anarkisme berawal sepuluh tahun lalu. Waktu itu, Ben bertanya-tanya, akankah anarkisme masih ada atau sudah hilang sama sekali.
Menurut dia, para anarkis kerapkali digugat sebagai orang tidak berpendidikan, perusuh, dan pelaku kekerasan. Hal ini seolah menafikan kekerasan yang dilakukan negara. Padahal, jumlah dan bentuk kekerasan yang dilegitimasi negara ini tak terhitung. "Apakah Anda sudah berpikir tentang para aparatur negara yang melakukan kekerasan? Mengapa tidak ada yang mempertanyakan?" gugat peneliti yang pernah dicekal semasa rezim Orba itu.
Sepanjang sejarah, kata Anderson, anarkisme telah menjadi bagian dari perlawanan terhadap sistem yang korup. Anarkisme, sebagai konsekuensi dari korupnya sebuah sistem, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu damai atau kekerasan. Pada zaman dulu, sistem yang dilawan itu bernama imperialisme dan aristokrasi, sedangkan kini kapitalisme global. Para anarki menghendaki keadilan dan kebebasan tanpa kesewenang-wenangan.
Lantas, masih adakah kaum anarki hari ini?