Senin 07 Dec 2015 07:29 WIB

Faisal Basri Sebut Kelas Menengah Indonesia Bermental Konsumtif

Red: M Akbar
Mantan ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM), Faisal Basri.
Foto: Republika/Prayogi
Mantan ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM), Faisal Basri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, mengatakan kelas menengah di Indonesia lebih bermental strata menengah yang konsumtif dibandingkan bersikap kritis dan terlibat aktif dalam lingkungan. Hal ini membuat kelas menengah belum dapat berperan menjadi kekuatan dinamik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

“Peran kelas menengah khususnya di Indonesia, belum dapat berperan menjadi kekuatan dinamik untuk mewujudkan suatu masyarakat yang sejahtera bagi seluruh lapisan dan kalangan yang ada dalam batang tubuh bangsa ini," ujar Faisal Basri dalam Diskusi Panel Serial ke-5 "Dinamika Proses Keindonesiaan" yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) di Jakarta.

Kelas menengah, kata dia, seharusnya merupakan motor penggerak dinamika suatu masyarakat, karena dari kalangan menengah pula tumbuh dan berkembang gagasan bagi seluruh masyarakat.

Oleh karena itu, Faisal mengajak, masyarakat kelas menengah perlu melakukan perubahan untuk segera mengatasi berbagai persoalan seperti pengelolaan sumber daya alam, melindungi rakyat dari ganasnya pasar dan globalisasi dan memperkuat jantung perekonomian.

Menurut dia, banyak fenomena yang patut disikapi terkait semakin banyaknya impor pangan dan produk manufaktur, serta energi. Fenomena maraknya impor tersebut dimulai pada 2007 hingga saat ini.

Faisal Basri berharap agar nasionalisme diperkuat. "Nasionalisme di sini adalah pencerminan dari tekad suatu bangsa untuk memperkokoh eksitensi negaranya dan memajukan kehidupan rakyatnya di tengah pergaulan masyarakat dunia yang terbuka dan berkeadaban, dengan melakukan tindakan-tindakan yang memperkuat peran negara dalam melayani masyarakatnya," papar dia.

Sementara itu, Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Pontjo Sutowo, menyatakan hingga saat ini ekonomi nasional masih bercorak ekonomi kolonial, yaitu bertitik berat pada ekspor bahan mentah dan mengimpor barang jadi. Kenyataan itu lebih diperparah dengan dipraktikkannya paham neo-liberalisme dalam kebijakan pemerintah.

"Sesungguhnya kita belum siap bersaing dalam suatu sistem pasar bebas yang benar-benar terbuka," kata Pontjo.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement