REPUBLIKA.CO.ID, KUTA -- Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ternyata marak terjadi dalam praktik-praktik penangkapan ikan di Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti mengatakan hal itu banyak dilakukan oleh pemilik kapal-kapal asing.
"Ini berdasarkan pengalaman kita selama satu tahun terakhir. Banyak kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran HAM di bidang penangkapan ikan," kata Susi dijumpai di Kuta, Bali, Kamis (3/12).
Susi juga mencontohkan banyaknya ditemukan kasus perdagangan dan penyelundupan manusia (human trafficking), tenaga kerja paksa (forced labor), diskriminasi gaji, tenaga kerja anak (child labor), fasilitas kapal tidak memenuhi aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Hak-hak pekerja di bidang perikanan ini juga sering diabaikan. Padahal, mereka berhak mendapatkan hak dasar, seperti akomodasi, makanan, jaminan kesehatan, upah, dan perlindungan sosial.
Beberapa contoh pelanggaran HAM bidang perikanan ini antara lain ditemukannya 635 dari 658 orang anak buah kapal (ABK) asing di Benjina yang dieksploitasi bekerja. Ada juga 373 dari 385 ABK asing di Ambon teridentifikasi menjadi korban perdagangan manusia. Pekerja laut juga dituntut bekerja 18-22 jam per hari selama sepekan, sementara waktu istirahat yang diberikan hanya dua hingga empat jam.
Pemilik maskapai penerbangan Susi Air ini juga mengimbau negara-negara anggota Western Central Pasific Fisheries Commision (WCPFC) untuk mengutamakan HAM dalam sektor perikanan. Mereka tak boleh hanya berorientasi bisnis dan keuntungan semata.
WCPFC ke-22 tahun ini membahas tentang konservasi dan manajemen penangkapan ikan di berbagai negara anggota. Pembahasan mengenai perikanan tuna berkelanjutan di Asia Pasifik mendominasi pertemuan ini.
Negara-negara di Kepulauan Pasifik menuduh Amerika Serikat (AS) berusaha mengingkari kesepakatan pembayaran 89,2 juta dolar AS atas izin dan akses pemancingan tuna di wilayah tersebut. Sebanyak 17 anggota Pacific Island Forum Fisheries Agency (FFA) mengatakan AS tidak membayar penuh kewajibannya sebagaimana kesepakatan yang sudah ditandatangani di Brisbane beberapa waktu lalu.
AS misalnya mengoperasikan armada perikanannya di perairan wilayah the Parties to the Nauru Agreement (PNA) yang beranggotakan delapan negara kepulauan di Pasifik yang telah memberlakukan pengendalian penangkapan tuna berkelanjutan dan besertifikat. Ketua PNA, Eugene Pangelinan mengatakan jika AS tak kunjung memenuhi kewajiban pembayarannya maka negara-negara di Kepulauan Pasifik akan menghadapi masalah serius.
"Mengingat hubungan yang sudah terjalin lama dengan AS, maka kami sementara mencoba tidak membawa kasus ini ke pengadilan" kata Pangelinan.
Direktur Eksekutif the American Tuna Boat Association, Brian Hallman mengatakan industri tuna di AS menghadapi kendala produksi tuna terlalu banyak dan harganya sangat rendah. Nelayan dan pemilik kapal tak bisa membayar tagihan mereka karena merugi jutaan dolar AS setiap tahun.
"Dua tahun lalu, harga ikan tuna mencapai dua ribu dolar AS per ton, sedangkan sekarang hanya seribu dolar AS per ton," ujarnya.
Armada penangkapan ikan tuna milik AS paling banyak beroperasi di perairan PNA. Populasi cakalang (sejenis tuna) terbesar ditemukan di sini mencakup 50 persen dari sumber cakalang dunia.