REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rekaman percakapan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan pengusaha Riza Chalid menarik perhatian Kejagung.
Dengan mengabaikan putusan sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD), kejaksaan menduga Setnov dan Riza Chalid melakukan pemufakatan jahat hingga berujung tindak pidana korupsi sesuai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengamat hukum Universitas Airlangga Ahmad Mukhlis menyoroti langkah korps Adhyaksa tersebut. Menurut dia, KPK lebih tepat menangani masalah itu.
"KPK sebagai salah satu penegak hukum juga punya kewenangan untuk menangani perkara seperti SN, yakni kasus dugaan suap yang diterima oknum kejaksaan. Ya pakai saja pasal 55 KUHP adalah pasal penyertaan yang memperjuangkan konsepsi tentang pelaku tindak pidana," katanya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (3/11).
Dia menyebut, langkah kejaksaan ikut menangani kasus Setnov seolah berupaya untuk memperbaiki citra. Padahal, pada saat bersamaan banyak perkara yang mangkrak tidak ditangani. "Padahal masih banyak kasus yang lebih penting ketimbang kasus Setnov," ujarnya.
Ahmad menyatakan, sikap Polri maupun KPK yang justru lebih menunggu putusan MKD adalah tepat, demi mengumpulkan bukti-bukti yang valid. "Masyarakat pastinya lebih senang jika benar kasus Setnov ini mengarah ke penyalahgunaan wewenang atau tindak pidana korupsi tersebut ditangani KPK," katanya.
Sebagai penegak hukum, lanjut dia, kejaksaan harusnya menunggu putusan MKD terlebih dulu. "Entah hasilnya menguntungkan Setnov atau tidak, penegak hukum bisa membuka penyelidikan baru sesuai laporan maupun referensi lainnya. Karena jika menunggu hasil MKD, justru penegak hukum akan lebih diuntungkan dalam mengusut dugaan terjadinya pemufakatan korupsi," ujarnya.