Kamis 03 Dec 2015 22:00 WIB

Ini Lima Alasan ICW Tolak Revisi UU KPK

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan
Tsunami Pemberantasan Korupsi. (dari kiri) Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting, Divisi Hukum ICW Lalola Easter Kaban, dan Peneliti ILR Erwin Natosmal mengadakan konferensi pers terkait putusan praperadilan Hadu Pu
Foto: Republika/ Wihdan
Tsunami Pemberantasan Korupsi. (dari kiri) Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Miko Susanto Ginting, Divisi Hukum ICW Lalola Easter Kaban, dan Peneliti ILR Erwin Natosmal mengadakan konferensi pers terkait putusan praperadilan Hadu Pu

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai rencana pemerintah dan DPR untuk membahas revisi UU KPK dan menyelesaikannya pada 2015 harus ditolak dengan sejumlah alasan. Pertama, subtansi revisi UU KPK versi DPR melemahkan posisi KPK.

Peneliti hukum Indonesian Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan beberapa bentuk pelemahan tersebut di antaranya adalah terhapusnya kewenangan penuntutan KPK, pembatasan masa kerja KPK hanya 12 tahun, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp 50 miliar ke atas, serta KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan terhadap target pelaku terduga koruptor.

Alasan kedua, percepatan revisi UU KPK dicurigai karena barter dengan regulasi lain. Salah satu regulasi yang masuk daftar prioritas oleh pemerintah dan DPR RI adalah revisi KUHP. Namun, proses pembahasan revisi KUHP sendiri masih pada pembahasan awal dan jauh dari kata selesai.

"Muncul kecurigaan publik bahwa masuknya RUU KPK yang menjadi inisiatif DPR pada penghujung 2015 ini adalah karena pertukaran kepentingan (barter) dengan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang merupakan usul inisiatif pemerintah," ujarnya dalam siaran pers, Kamis (3/12).

Ketiga, pembahasan di DPR sangat mungkin tidak terkontrol atau menjadi bola liar. Lalola menyebut meski pemerintah dan DPR setuju revisi UU KPK terbatas hanya empat isu tersebut, namun DPR melalui Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Soebagyo menyatakan tidak bisa memastikan bahwa pembahasan revisi UU KPK hanya akan mengakomodasi usul KPK. Berarti sangat mungkin isu krusial lain akan dibahas bahkan disahkan oleh DPR.

Keempat, pengusulan revisi UU KPK tanpa disertai dengan naskah akademik. Padahal Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mewajibkan adanya naskah akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.

Kelima, revisi UU KPK dicurigai merupakan agenda atau upaya balas dendam dari pihak-pihak yang terganggu dengan kerja KPK memberantas korupsi. Bahkan, banyak pihak menduga bahwa usulan revisi UU KPK merupakan titipan para koruptor atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka KPK.

Bukan rahasia bahwa banyak politisi di DPR tidak menyukai keberadaan KPK. Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya 82 politisi dari berbagai Partai Politik yang dijerat oleh KPK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement