REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai kewenangan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) ditujukan agar Komisi Pemberantasan Korupsi lebih objektif menyelesaikan suatu kasus hukum.
"Perubahan itu sebenarnya kalau kita lihat agar secara proporsional Undang-Undang KPK itu lebih tepat atau lebih sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi," kata JK ditemui di Surabaya, Jawa Timur, Senin (30/11).
(Baca: Yasonna: Jangan Alergi Revisi UU KPK)
Menurut Wapres, KPK juga merupakan lembaga yang didirikan dan dijalankan oleh warga yang tidak kebal hukum. "Tidak ada hal-hal yang mengurangi kewenangan KPK, yang ada ialah justru agar KPK lebih fokus dan objektif. Oleh karena itu ada pengawas, ada SP3," tegas JK.
JK menampik tudingan bahwa Badan Legislasi DPR dan pemerintah yang menyetujui revisi UU KPK adalah untuk barter proses pencalonan pimpinan lembaga antirasuah itu. "Sama sekali tidak ada. Itu hanya untuk masyarakat yang baik. Semua karena kita ini manusia biasa mesti diawasi," kata JK.
(Baca: Johan Budi Kaget Revisi UU KPK Masuk Prolegnas 2015)
Sebelumnya pada Jumat (27/11), rapat Badan Legislasi bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia HAM Yasonna Laoly menyetujui bahwa pemerintah mengambil alih RUU Tax Amnesty menjadi usul inisiatif pemerintah. Sebagai gantinya, revisi UU KPK yang awalnya merupakan usul pemerintah dijadikan usul inisiatif DPR.
Dalam usulan draf revisi UU KPK pada Oktober lalu, setidaknya ada 18 butir perbedaan antara konsep revisi yang diajukan oleh fraksi-fraksi DPR dengan UU 30 Tahun 2002 yang menjadi landasan hukum KPK saat ini.
Sejumlah hal yang penting misalnya, KPK diamanatkan untuk hanya fokus melakukan upaya pencegahan dan menghilangkan frase pemberantasan korupsi, KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan (pasal 5).