REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Ashiddiqie menilai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi Sumatra Utara yang paling rawan dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Sumatra.
"Sejak 2012, Sumatra paling rawan di Sumut," kata Jimly, Kamis (26/11).
Ia menjabarkan, sejak 2012, sebanyak 247 pengaduan kode etik penyelenggara Pemilu Sumut diterima DKPP. Angka itu relatif lebih banyak dibanding daerah lain. Bahkan, sepanjang 2015 saja, dalam tahapan Pilkada Serentak, DKPP sudah menerima 69 pengaduan di Sumut.
Dugaan pelanggaran kode etik yang diadukan masyarakat terdiri dari berbagai macam. Menurut dia, itu karena aturan kode etik sangat longgar.
"Rumusan hukum tidak boleh interpretasi. Tapi kalau kode etik bisa masuk ke mana-mana. Posisi penyelenggara mudah sekali adukan," kata dia.
Secara nasional, sejak awal Januari hingga 18 November 2015, DKPP sudah menerima 337 pengaduan dugaan pelanggaran kode etik. Sebanyak 85 perkara sudah disidang, 68 perkara Diputus dengan 49 putusan. Dari jumlah pengaduan itu, sebanyak 223 direhabilitasi, 75 diberi peringatan, empat diberhentikan sementara dan 28 diberhentikan tetap.
Sementara itu menurut Jimly, etika penyelenggara Pemilu di Kepri relatif baik. Padahal, ketegangan politik di Kepri relatif tinggi, karena terdapat dua pasangan calon dalam Pilkada Provinsi, dan dua pasangan calon itu merupakan petahana yang maju kembali dengan pasangan masing-masing.
"Kepri sukses, jadi contoh. Peserta dua-duanya 'incumbent'. Ketegangan lumayan. Kepri diharapkan menjadi contoh sukses Pilkada di barat," kata dia.
DKPP mencatat hanya terdapat tiga aduan kode etik sepanjang 2015 di Kepri, lebih sedikit dibanding daerah lain di Indonesia.