Rabu 25 Nov 2015 10:57 WIB

Doa dan Hati yang Ikhlas dari Guru Kita

Red: M Akbar
Sejumlah siswa SMP Muhammadiyah 5 Solo berbusana wayang orang saat mengikuti acara sungkem massal dalam menyambut Hari Guru di halaman sekolah setempat, Solo, Jawa Tengah, Selasa (24/11)
Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya
Sejumlah siswa SMP Muhammadiyah 5 Solo berbusana wayang orang saat mengikuti acara sungkem massal dalam menyambut Hari Guru di halaman sekolah setempat, Solo, Jawa Tengah, Selasa (24/11)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adhyaksa Dault (Ketua Kwarnas Pramuka)

Suatu ketika K.H. Ahmad Umar Abdul Manan (1916 – 1980), pengasuh Pesantren Al Muayyad, Mangkuyudan Solo, memanggil lurah pondok. “Aku minta dicatatkan nama-nama santri yang nakal ya! Dirangking ya. Paling atas ditulis nama santri ternakal, nakal sekali, nakal dan terakhir agak nakal.”

Lurah pondoknya girang bukan main. Sudah beragam cara diupayakan untuk mengingatkan santri-santri nakal itu. Tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka sudah beku hatinya.

Dengan penuh semangat, dijalankanlah perintah Kiai Umar. Nama-nama santri itu ditulis besar-besar dengan spidol. Ternakal fulan bin fulan asal dari daerah A. Nakal sekali fulan bin fulan dari daerah B sampai santri yang agak nakal. Setelah catatan selesai dibuat, kemudian diserahkan kepada kiai.

Lurah pondok itu menanti seminggu, dua minggu, kok tidak ada tindakan apa-apa. Pikirnya dalam hati, “Kok santri-santri yang nakal masih tetap nakal ya. Kok tidak diusir atau dipanggil kiai.”

Akhirnya lurah pondok itu memberanikan diri matur kepada Kiai Umar. “Maaf kiai, santri-santri kok belum ada yang dihukum, ditakzir atau diusir?” kata sang lurah pondok. “Lho, santri yang mana?” jawab kiai.

“Santri yang nakal-nakal. Kemarin panjenengan minta daftarnya.”

“Siapa yang mau mengusir? Karena mereka nakal itu dipondokkan, biar tidak nakal. Kalau di sini nakal terus diusir, ya tetap nakal terus. Dimasukkan ke pesantren itu biar tidak nakal.”

“Kok Anda memerintahkan mencatat santri-santri yang nakal itu?”

“Begini, kamu kan tahu tiap malam aku setelah sholat tahajud mendoakan santri-santri. Catatan itu saya bawa, kalau saya berdoa mereka itu saya khususkan. Tanya dululah kalau belum paham.”

***

Cerita itu pernah saya sampaikan di sebuah daerah di Jawa Tengah. Ada kiai muda mengundang saya untuk mengisi ceramah pada acara khataman Alquran di pesantrennya. Ada puluhan ribu orang yang hadir. Dalam kesempatan itu saya ceritakan kisah di atas.

Saya suka menceritakan kisah ini. Buat saya, apa yang dilakukan Kiai Umar sesuai dengan yang dipesankan oleh ayah saya. Mengajar itu harus lahir batin. Saat saya sampaikan cerita ini, para hadirin tertawa semua. Hanya satu orang yang tidak tertawa. Kiai muda itu terlihat menunduk diam. Pikir saya, “Apa Kiai ini tidak paham yang saya sampaikan atau bagaimana? Kok tidak ada ekspresi apa-apa saat dengar cerita saya.”

Pada saat turun dari podium, saya dirangkul oleh kiai muda itu. Dia membisikkan sesuatu, “Masya Allah, alhamdulillah Gus, jenengan tidak menyebut nama. Sayalah daftar ternakalnya Kiai Umar.”

Kaget, heran dan kagum saya, dengan statusnya dulu sebagai santri ternakal, dia sekarang jadi kiai dengan ribuan santri. Kisah di atas disampaikan oleh KH. Musthofa Bisri dalam haul KH. Umar Abdul Manan di Pondok Pesantren Al Muayyad Solo.

***

Begitulah guru atau kiai pada masa lalu dalam mendidik para murid dan santrinya. Mereka luar biasa. Kiai-kiai zaman dulu mendidik tidak hanya mengajar secara lisan saja. Tetapi juga dibarengi dengan laku tirakat dan doa. Bahkan, saat santrinya sudah pulang ke rumah, para kiai itu masih memperhatikan dan memberikan doa.

Mereka, para murid dan santri tadi, selalu dikunjungi, dipantau dan ditanyakan perkembangannya. Itulah rahasia keberkahan ilmu para alumnus pesantren. Rahasia itu adalah doa guru, termasuk guru-guru kita dulu. Mereka selalu ikhlas dalam mengabadikan dirinya buat para anak didiknya.

Kini, menyambut Hari Guru Nasional, sudah sepantasnya kita yang sudah dewasa merefleksikan kembali peran para guru kita. Masih ingatkan kita kepada mereka?

Perlu diketahui, sewaktu masih bersekolah dari SD-SMP di Al-Azhar Jakarta, saya ini sebenarnya anak yang bandel. Saya suka berkelahi. Suka mengajak kawan-kawan naik Gunung Gede tanpa seizin orang tua. Tak jarang, kawan-kawan yang saya ajak hiking itu dicari oleh orang tua mereka hingga ke sekolah.

Saya juga pernah di hukum bersama Dino Pati Jalal. Kami dihukum karena melawan kebijakan sekolah yang terlalu ketat pada waktu itu. Tapi saya merasa bersyukur. Para guru yang mendidik saya sewaktu masih dibangku sekolah dasar itu tak pernah surut untuk mengabdikan dirinya. Mereka ikhlas dan sabar dalam membimbing kami.

Bisa seperti sekarang, menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga dan sekarang menjadi Ketua Kwartir Nasional, rasanya tak akan lengkap tanpa peran dari guru. Saya menyadari, keikhlasan guru-guru itulah yang membuat saya bisa seperti sekarang. Sebagaimana halnya yang pernah diceritakan oleh Gus Mus pada cerita di atas. 

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana kualitas sekolah dan para guru pengajar hari ini? Saya berharap para guru masa kini bisa terus istiqomah dalam mengabdikan dirinya sebagai pencetak generasi masa depan bangsa. Jika sekarang, para guru kita sudah banyak yang almarhum, tentunya jangan pernah kita lupakan untuk mengirimkan doa dan kebaikan kepada mereka. Semoga Allah menempatkan mereka di dalam surga jannatunnaim sebagaimana amal ibadah mereka dalam mendidik murid-muridnya seperti anaknya sendiri dan sebagaimana kisah yang telah dituliskan oleh Gus Mus.

Lantas pada masa kini, di zaman yang sudah semakin mengglobal, tentunya para guru harus bisa meng-up grade diri mereka. Sudah sepatutnya juga guru-guru itu merefleksikan diri terhadap kemampuannya menghadapi tantangan zaman. Di dalamnya, termasuk juga kakak-kakak pembina Pramuka yang notabene menjadi guru bagi para anggota Pramuka di seluruh pelosok negeri ini.

Wahai kalian para pembina Pramuka, dimanapun berada, sesungguhnya kalian adalah guru sejati. Ikhlaskanlah diri menjaga kader-kader terbaik bumi pertiwi ini. Dan wahai para guru, teruslah berbakti buat bangsa ini supaya bisa menjadi lebih baik. Tanpa keikhlasan seorang guru maka sulit rasanya membuat negara ini menjadi semakin membaik.

Selamat Hari Guru!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement