Selasa 24 Nov 2015 14:38 WIB

Tolak Mekanisme Pengupahan, Buruh Kenakan Kaus 'Turn Back Capitalist'

Rep: C33/ Red: Nur Aini
Seorang buruh berorasi ketika mengikuti aksi mogok di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (24/11).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Seorang buruh berorasi ketika mengikuti aksi mogok di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (24/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan buruh di kawasan Industri Pulo Gadung mengadakan aksi unjuk rasa menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Di balik aksi unjuk rasa itu terselip cerita menarik seperti para buruh Serikat Buruh Metal Indonesia (SPMI) mengenakan kaus bertuliskan "turn back capitalist" (pukul mundur kapitalis) mirip kaus anggota Reskrim Polda Metro Jaya.

Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Krishna Murti merancang sendiri kaus biru dongker bertuliskan "turn back crime". Kaus itu diperuntukkan bagi satuan reskrim di wilayah hukum Polda Metro.

Kini, kaus serupa itu dikenakan oleh buruh SPMI dengan tulisan yang berbeda. Kaus yang sama-sama berwarna biru tua itu bertuliskan "turn back capitalist". Salah satu buruh SPMI, Fadlan mengaku tidak masalah ketika mengenakan kaus itu. Ia mengatakan rencana menggunakan kaus itu bermula ketika pada aksi tanggal 30 Oktober lalu, para buruh harus berhadapan dengan satuan reskrim.

"Waktu tanggal 30 kemarin polisi pakai baju ini. Jadi kita ingin meniru saja karena kalau polisi kan musuhnya penjahat tapi kalau kita musuhnya kapitalis," katanya saat ditemui di sela-sela aksi unjuk rasa pada Selasa (24/11).

Ia merasa tidak takut jika kaus itu disama-samakan dengan polisi. Sebab, warga sipil sebenarnya dilarang mengenakan pakaian kepolisian. Namun menurutnya, seragamnya terbilang berbeda karena ada tulisan SPMI di bagian punggung.

"Saya tidak takut disangka meniru polisi tuh sebab identitas kita kan jelas di baju ini berbeda dengan polisi," katanya.

Dalam aksi tersebut kaum buruh akan mengajukan tiga tuntutan yaitu pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, karena dinilai melanggar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 tentang kehidupan layak. Aturan tersebut ditolak karena penetapan upah tidak berdasarkan komponen standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang direkomendasi dewan pengupahan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement