REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tindakan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli yang mengatakan bahwa akan ada reshuffle di akhir tahun dinilai kurang tepat. Pasalnya pengumuman soal ada atau tidaknya serta kapan akan dilakukan reshuffle menjadi kewenangan Presiden.
Lain halnya jika Rizal hanya memberi sedikit petunjuk atau mengindikasikannya saja, itu tidak masalah. “Tapi kalau sudah memastikan waktunya, rasanya kurang pas,” ujar dosen komunikasi politik Universitas Gajah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad kepada Republika.co.id, Jumat (20/11).
Pengumuman hal yang berkaitan dengan reshuffle adalah hal prerogatif Presiden. Para menteri sebaiknya tidak melampaui kewenangan tersebut. Yang menyampaikan informasi tersebut mestinya tim dari kantor staf Presiden (KSP) atau staf khusus resmi lainnya.
Nyarwi mengatakan gaya komunikasi Rizal memang begitu. Hanya saja jika hal itu kontraproduktif, maka tidak akan baik untuk kabinet. Rizal cenderung suka ‘jalan sendiri’, seolah tanpa ada kontrol dari Presiden.
Berbicara soal reshuffle, seandainya pun nanti ada menteri yang diganti oleh Presiden, maka hal itu harus dilakukan berdasarkan capaian si menteri. Evaluasi harus datang dari Presiden dan bisa juga ditambah dari opini publik. Hanya saja opini publik di sini harus lebih presisi. “Kalau hanya mengandalkan survei, datanya terlalu general sehingga butuh data empirik yang memperhitungkan kinerja para menteri,” kata Nyarwi.
Contohnya saat menilai kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, masyarakat yang bisa dilibatkan misalnya nelayan atau pihak lain yang terlibat langsung dengan sektor itu. Publik juga bisa diajak berpikir,menilai, dan mengapresiasi. Presiden pun juga hendaknya mempertimbangkan apresiasi ini dalam menentukan menteri mana yang layak diganti.