Kamis 19 Nov 2015 21:50 WIB

Wartawan Ini Dipolisikan dengan Aduan Hate Speech

Sebuah stiker tentang represi terpasang di sebuah meja saat pemberian keterangan pers tentang Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran? Kebencian atau hate speech di kantor Kontras, Jakarta, Selasa (10/11).
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Sebuah stiker tentang represi terpasang di sebuah meja saat pemberian keterangan pers tentang Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran? Kebencian atau hate speech di kantor Kontras, Jakarta, Selasa (10/11).

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Dirut PD Perusahaan Terminal Makassar Hakim Syahrani melaporkan salah satu wartawan terkait pemberitaan seputar dugaan pungutan liar di terminal. Pemberitaan tersebut dituliskan pada salah satu media online 18 November 2015.

"Saya tidak terima diberitakan melakukan pungutan liar pada fasilitas MCK di mushala Terminal Regional Daya, itu semua tidak benar," kata Hakim Syahrani kepada wartawan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (19/11).

Dalam laporan polisi, tersebut tentang pencemaran nama baik secara tertulis atau Hate Speech dengan menyebar kebencian. Laporan resmi disampaikan ke Polrestabes Makassar sebagai bentuk pelanggaran hukum.

Hakim menyebut berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Makassar nomor 143/900/kep/VII/2015 tentang pengesahan Keputusan Direksi Perusda Terminal Makassar terkait dengan tarif dan jasa pelayanan pemanfatan fasilitas terminal, sudah sesuai prosedur.

"Saya merasa terhina diberitakan seperti itu bahwa masuk mushala bayar, semua yang diberitakan itu tidak benar, memang ada kenaikan tarif tapi tidak dibebankan orang wudhu dan shalat di mushala bayar," ujarnya.

Sementara Sekertaris Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel Hendra Nick Arthur menyesalkan langkah Dirut Terminal yang melaporkan jurnalis ke polisi. "Harusnya dia (Hakim) mengklarifikasi dulu dengan hak jawab sesuai dengan aturan main dalam produk jurnalistik. Tidak mesti melaporkan masalah itu ke polisi karena akan memperlebar masalah," katanya.

Kendati adanya kesalahan dalam pemberitaan tentu punya mekanisme sendiri, sebab wartawan dalam menjalankan tugasnya itu dilindungi Undang-undang Pers tahun 1999.

"Bila memang berita itu bohong harus diklarifikasi yang sebenarnya dan meminta hak jawab itulah yang digunakan, bukannya melaporkan hal itu ke polisi seolah-olah kriminal, ingat wartawan itu dilindungi Undang-undang," katanya.

Sebelumnya, salah satu jurnalis media online lokal, Asrul, memberitakan tentang pengutan liar perusahaan terminal setempat saat aksi puluhan orang tergabung dalam Lembaga Persatuan Mahasiswa Indonesia (LPMI) Makassar di Balai Kota. Hal ini kemudian menjadi pemberitaan berdasarkan komentar para pendemo yang melaporkan temuan adanya pungutan liar dan bayaran masuk mushalah, mengingat posisi MCK tersebut bersebelahan dengan tempat wudhu mushalah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement