Kamis 19 Nov 2015 18:00 WIB

'Siluman' OTB Hantui Hutan Indonesia

Sejumlah petugas berusaha memadamkan api pada Kebakaran hutan di Gunung kareumbi, Kabupaten Sumedang, Kamis (29/10).
Foto: foto : MJ05
Sejumlah petugas berusaha memadamkan api pada Kebakaran hutan di Gunung kareumbi, Kabupaten Sumedang, Kamis (29/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Izin praktik pembakaran hutan dan lahan melalui celah UU 32 Tahun 2009 telah jadi santapan empuk organisasi tanpa bentuk (OTB) di sektor kehutanan.

"Pemerintah seharusnya mengkaji lagi kelemahan UU 32 tahun 2009 yang acapkali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mencari keuntungan dengan membakar lahan seperti yang terjadi beberapa waktu lalu," tegas Peneliti Paradigma Institut Ir Prasetyo Sunaryo dalam rilisnya kepada Republika.co.id, Kamis (19/11).

Perundang-undangan tersebut mengizinkan praktik pembukaan lahan dengan cara dibakar karena mempertimbangkan kearifan lokal, yaitu kebiasaan penduduk membuka lahan dengan cara dibakar. Namun, praktik ini biasanya dilakukan pada skala kecil dengan prosedur yang ketat agar tak merambah ke lahan milik orang lain.

Kelonggaran yang ada, jelas Prasetyo, dimanfaatkan oleh para mafia hutan yang melibatkan pemerintah daerah. Seperti adanya Peraturan Gubernur yang memperbolehkan pembakaran lahan melebihi ketentuan UU.

“Mereka beroperasi secara terorganisir, bermodal besar dengan memanfaatkan keberadaan UU dan perda serta kelemahan pengawasan aparat di daerah,” tegas Prasetyo.

Sehingga ia mendeskripsikan gerakan kelompok tersebut ibarat OTB bermodal kuat. Temuan BNPB, imbuh Prasetyo, mengonfirmasi adanya praktik-praktik pembakaran yang disengaja untuk diperjualbelikan.

"Sejauh ini, belum ada yang menelisik peran OTB di sektor kehutanan ini. Mereka seolah missing link meski perannya bisa jadi sangat besar dalam pembakaran hutan selama belasan tahun di Indonesia," tambahnya.

Dalam penelitiannya,Paradigma Institut menemukan bahwa harga lahan yang sudah dibersihkan dengan tebas dan tebang ditawarkan dengan harga Rp 8,6 juta per hektare.

Namun, lahan dalam kondisi 'siap tanam' atau sudah dibakar malah akan meningkat harganya, yaitu Rp11,2 juta per hektar.

Lalu tiga tahun kemudian, setelah lahan yang sudah ditanami siap panen, maka perkebunan yang sudah jadi itu bisa dijual dengan harga Rp 40 juta per hektare.

Kenaikan nilai ekonomi dari lahan inilah yang membuat aktor-aktor yang diuntungkan berupaya agar kebakaran hutan dan lahan terjadi terus-menerus.

Selain itu, dalam pola jual beli lahan, penyiapan lahan menjadi tanggung jawab pembeli, jika akan dibakar atau dibersihkan secara mekanis. Semakin murah biaya pembersihan, untung pembeli akan semakin besar.

 

Sebagai perbandingannya, menurut Prasetyo, per hektar lahan yang dibakar biayanya 10-20 dolar AS, sementara untuk lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan 200 dolar AS per hektare.

Penelitiannya dilakukan di kabupaten  Riau, yaitu Rokan Hulu, Rokan Hilir, Dumai, dan Bengkalis dengan metode pemetaan, survei, dan pendekatan kebijakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement