Senin 16 Nov 2015 21:05 WIB

MK Perlu Turun Tangan Soal Politik Uang Pilkada

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Indah Wulandari
 Ketua Hakim Mahkamah Kostitusi, Anwar Usman (kedua kanan) memimpin sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli di Ruangt Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (7/10).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua Hakim Mahkamah Kostitusi, Anwar Usman (kedua kanan) memimpin sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli di Ruangt Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penyelesaian kasus praktek politik uang yang berpotensi marak dalam Pilkada serentak mendatang, dinilai perlu melibatkan peran Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini agar kasus politik uang tidak hanya menguap di permukaan dan berakhir pada ketidakjelasan kasus di lembaga peradilan umum.

Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan kebanyakan penyelesaian kasus politik uang baik berupa candidate buying (sewa perahu) calon kepala daerah maupun vote buying (pembeli suara) terkesan lamban.

“Karena kalau menunggu tindaklanjut pengadilan berkekuatan inkrah lama, laporan vote buying mentah, walau diseriusi juga, maju ke polisi begitu, kejaksaaan dan hakim bisa hilang, ada proses banding dan kasasi, itu juga untuk hukuman pelakunya, belum diskualifikasi hasilnya,” ungkap Refly di Kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, Senin (16/11).

Sehingga kata Refly, MK berperan dalam penyelesaian kasus yang bersifat substantif, buka hanya sengketa hasil berdasarkan suaranya saja. Menurutnya, MK sebagai pengadil pemilihan ‘electoral justice system’ harus mengupayakan keadilan substantif untuk menegakkan Pilkada yang jujur dan adil.

“Kalau kayak sekarang soal suara saja, bahkan ada presentasenya, ya orang nggak bisa lagi cari keadilan candidate buying dan vote buying  kemana, ke penegakan hukum pidana prosesnya panjang dan lama,” ujarnya.

Refly meminta semua pihak untk tidak menutup mata terhadap berbagai praktik politik uang. Karena biasanya, calon kepala daerah menggunakan uang sewa perahu agar memperoleh rekomendasi partai politik, sementara pembelian suara digunakan untuk menyuap pemilih.

Dengan adanya penyelesaian oleh MK, maka calon kepala daerah yang terbukti melakukan kedua modus praktik politik uang itu bisa dikenakan sanksi administratif berupa diskualifikasi atau pembatalan.  Alhasil MK pun tetap bisa mengawal terpenuhinya asas langsung, umum bebas dan rahasia serta jujur dan adil dalam pilkada serentak 2015.

“Hal terpenting pemohon bisa buktikan adanya modus politik, tapi MK nggak bicara aspek pidana, aspek pidana silahkan pengadilan pidana tapi dia menjaga integritas Pilkada, itulah electoral justice system,” ungkapnya.

Namun diakui pula oleh Refly, hal itu tidak mudah terealisasi, pasalnya MK saat ini hanya akan menangani gugatan soal hasil penghitungan suara pilkada serentak 2015.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement