REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, Menjadi Undang-Undang Pilkada (UU Pilkada) di Gedung MK, Rabu (11/11)
Satu-satunya permohonan yang dikabulkan MK adalah pasal 157 ayat 8 tentang batas waktu wewenang MK dalam menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah. Dalam pasal tersebut diatur, Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 hari sejak permohonan diregistrasi.
Dalam permohonan yang diajukan Doni Istyanto Hari Mahdi tersebut memohon, MK untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkda paling lama 45 hari kerja sejak diregistrasinya perkara. "Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 hari kerja sejak diterimanya permohonan," kata hakim konstitusi, Arif Hidayat.
Menurut Hakim Mahkamah Konstitusi lain, Aswanto memaparkan, Mahkamah untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota memang perlu mempertimbangkan antara jumlah hakim serta perangkat peradilan dengan banyaknya perkara.
Terlebih, diperlukan kecermatan dan ketelitian agar penanganannya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan asas peradilan, yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. "Juga agar tidak terlanggarnya hak konstitusional warga negara, khususnya Pemohon," ucap Aswanto.
Aswanto melanjutkan, Mahkamah sepakat dengan pemohon, waktu 45 hari kalender tidaklah cukup untuk menangani perkara perselisihan hasil pemilihan tersebut. Sebab, jangka waktu 45 hari kalender sangat pendek karena efektif hanya tersedia sekitar 32 hari kerja.
Oleh sebab itu, frasa “45 hari sejak diterimanya permohonan” dalam Pasal 157 ayat 8 UU Pemilihan juga harus dimaknai 45 hari kerja sejak perkara diterima oleh Mahkamah Konstitusi. "Makna “sejak diterimanya permohonan” adalah sejak dicatatnya perkara dalam buku registrasi perkara konstitusi (BRPK)," tambah Aswanto.
Sementara itu, Pemohon Doni Istyanto Hari Mahdi mengatakan, permohonan tersebut dimohonkan supaya MK memiliki masa kerja yang efektif. Doni pun meyakini, dengan dikabulkannya permohonan tersebut bisa membuat situasi di Gedung MK lebih kondusif paska digelarnya Pilkada serentak.
"Cuma mencegah supaya MK tidak jadi pasar malam. Sehingga nantinya putusan MK lebih efektif, begitupun masa kerjanya," kata Doni.
Doni meyakini, siapapun yang kalah dalam gelaran Pilkada serentak, akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencoba peuntungannya lewat MK. Maka dari itu, hampir bisa dipastikan, MK akan menerima begitu banyak pengajuan perkara paska digelarnya Pilkada serentak yang diikuti 269 daerah.
Dia pun meyakini, kinerja Mahkamah Konstitusi bisa tidak efektif jika bekerja dengan waktu yang terbatas. "Normalnya, siapa sih orang yang mau menerima begitu saja? Apa lagi ini kan urusan politik di mana mereka sudah mengorbankan banyak hal," tambah Doni.